Memahami untuk Mencintai - Berbagi Ilmu

Berbagi Ilmu

Memahami untuk Mencintai

Untuk bisa mencintai butuh untuk memahami. Ungkapan itu tercermin dari kisah berikut ini.
Alkisah hiduplah tiga orang anak kakak beradik. Pada suatu malam, si bungsu yang masih balita terus-menerus menangis sepanjang malam sehingga kakaknya yang sulung hilang kesabarannya dan mulai memukulnya. Bukannya berhenti menangis, tangisan si bungsu malah semakin bertambah keras.

Melihat kejadian itu, anak yang kedua berusaha mencari penyebab adiknya menangis. Ia sentuh badan dan kening adiknya. Ternyata adiknya demam tinggi. Segera ia memberitahu kakaknya. Mengetahui adiknya sang kakak kemudian memeluk adiknya dan menciumnya. Ia menangis menyesali tindakannya setelah memahami kondisi adiknya.

Salah satu persoalan terbesar kita adalah ketika menghadapi masalah, kita tidak sungguh-sungguh berusaha memahami masalah secara benar. Bukan karena kita kurang serius menanganinya, tapi lagi-lagi yang kita lakukan adalah menyaring masalah menurut persepsi ego kita masing-masing, lalu buru-buru mencari penyelesaiannya tanpa memahami inti permasalahan sesungguhnya. Sehingga yang terjadi bukannya memecahkan masalah justru menciptakan masalah baru.

Ada seekor monyet yang sedang duduk di pinggir kolam. Dengan iba hati ia memperhatikan ikan yang mulutnya mengap-mengap di permukaan air. Monyet itu kemudian membayangkan dirinya sendiri ketika kelelap dalam air.

“kasihan ikan-ikan itu, mereka kehabisan napas”. Pikir sang monyet. “aku harus segera menolongnya". Tanpa pikir panjang sang monyet pun mengangkat ikan itu keluar dari kolam. Tapi tak lama kemudian sang monyet kaget. Ikan yang ia “selamatkan” justru malah mati.


Saat menghadapi perbedaan terkadang sebagian dari kita merasa diri paling benar. Hanya kita dan golongan kita yang benar. Orang lain yang tidak sependapat dengan kita dianggap sesat. Kita cepat sekali memvonis bid’ah terhadap orang lain. Bahkan tanpa ragu dan kaku mencap kafir terhadap golongan lain yag berbeda pendapat.

Sikap demikian boleh jadi terjadi karena kita belum memahami secara benar pendapat orang lain. Pernahkah kita bertanya pada diri kita mengapa mereka berbeda pendapat dengan kita. Apa alasan yang mendasarinya. Jangan-jangan kita tak peduli akan hal itu.

Pahami setiap pendapat orang lain dengan benar, telusuri secara mendalam, kenali secara utuh dan lengkap. Niscaya semua fanatisme berlebihan akan berlalu dengan sendirinya. Petuah kuno mengatakan “mengenal lebih benar akan terhindar dari fanatisme.”

Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar. Para sahabat pernah berbeda pendapat tentang menyikapi perintah Rasulullah agar shalat di tempat Bani Quraidhah. Ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Aisyah tentang Rasulullah ketika Isra’ – Mi’raj, apakah Nabi melihat Allah dengan mata kepala atau mata hati atau melihat cahaya. Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Utsman bin Affan tentang shalat di Mina pada musim haji, di-qashar atau disempurnakan. Ibnu Mas’ud juga berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas tentang penafsiran salah satu tanda besar kiamat, yaitu Ad-Dukhan (asap atau kabut). 
Semua perbedaan itu tidak menyebabkan mereka berpecah belah atau saling menghujat dan menjatuhkan, mereka tetap bersaudara, rukun dan saling menghormati.

Bahkan, malaikat juga berbeda pendapat. Yaitu ketika ada seseorang yang telah membunuh seratus orang (beberapa riwayat menyebut 99 orang), kemudian ia bertaubat dan pergi berhijrah lalu meninggal dunia dalam perjalanan. Terjadi perbedaan pendapat antara malaikat rahmat dengan malaikat adzab dalam menyikapinya. Malaikat rahmat (yang kita kenal dengan nama Ridwan) berpendapat bahwa orang ini adalah ahli surga karena telah bertaubat, sedang malaikat adzab (yang kita kenal dengan nama Malik) berpendapat bahwa orang ini adalah ahli neraka karena telah membunuh seratus orang dan belum berbuat kebaikan. Akhirnya Allah mengirimkan malaikat ketiga yang memutuskan perkara bahwa orang tersebut adalah ahli surga.

Coba contohlah ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Quran dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti, dan menolak pendapat lain sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama.

Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi’i.

Ada juga ungkapan yang cukup indah dari Muhammad Rasyid Ridha, “Marilah kita tolong menolong pada perkara yang kita sepakati, dan mari kita saling menghargai pada perkara yang kita perselisihkan.”

Jadi, kalau Malaikat dan para Nabi saja bisa berbeda pendapat, mengapa kita harus berpecah dan bermusuhan karena perbedaan?


Silakan Baca Juga artikel Berikut!





Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Memahami untuk Mencintai"