Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak)
Fenomena film drama seri India
Uttaran sungguh luar biasa. Dampak film ini telah “meracuni” pikiran,emosi
dan kewarasan pemirsa di Indonesia. Tak
heran jika di manapun dan kapanpun film yang kalau dalam bahasa Indonesia
berarti bekas/sumbangan/buangan ini selalu menjadi topik pembicaraan menarik dan memacu emosi di
kalangan masyarakat khususnya ibu-ibu. Bisa dipastikan kapanpun dan di manapun
ibu-ibu berkumpul, di warung, di toko, di kantor, sekolah, saat pengajian,
menunggu anak sekolah, salah satu topik pembicaraan mereka adalah seputar film
ini.
Film yang entah kapan berakhirnya
ini (di India film ini ditayangkan dalam jangka waktu tujuh tahun dengan 1549
episode), memiliki daya magis yang luar biasa. Ceritanya yang klasik tentang
pertemanan anak pembantu dengan anak juragannya yang berujung pada perebutan
seorang laki-laki, sosok Ichcha gadis miskin yang tertindas tapi tetap tegar,
Tapasya si antagonis utama, egois, manja dan menghalalkan segala cara, ditambah
eksekusi yang maha lebay (didramatisir) -Lihatlah bagaimana adegan Ichcha melabrak Tapasya soal menukar surat yang dikirimnya untuk Vansh, misalnya, memakan waktu hampir setengah jam. Bagaimana tidak, setiap selesai mengucapkan dialog, kamera menyorot pemilik dialog, kemudian zoom-in ke wajah lawan bicaranya dengan efek seperti kilat. Kadang dilanjutkan dengan kamera berputar mengitari tubuh pemain lengkap dengan ilustrasi musik gedombrengan - telah berhasil mengaduk-aduk emosi pemirsa. Orang bisa menangis
tersedu-sedu, menjerit, marah, mengumpat, kesal, kecewa dan gelisah ketika atau
setelah menyaksikan film ini. Bahkan, orang bisa stres, tidak bisa tidur, lupa
makan, lupa anak, lupa suami, lupa pekerjaan hanya karena memikirkan kisah
Ichcha dan nasibnya. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari obrolan ibu-ibu
di lingkungan saya.
Sistem saraf yang terdiri dari
otak dan jaringan saraf memiliki tugas pokok sebagai sistem yang membuat hidup
jadi bermakna. Selain itu, sistem saraf juga berfungsi untuk mengatur,
mengendalikan, dan mengoperasikan seluruh organ serta sistem tubuh yang
menunjang kehidupan.
Fungsi sistem saraf berikutnya
yang tidak kalah penting adalah sebagai pusat pengaturan sikap kita menghadapi
perubahan lingkungan, hubungan sosial, berkomunikasi dan proses belajar.
Bagaian sistem saraf yang memainkan peran ini didominasi oleh sebuah sistem
yang disebut sistem limbik. Sistem limbik ini terdiri dari beberapa bagian yang
setiap bagiannya memiliki fungsi khusus dan vital, antara lain girus singulata,
badan amigdala, dan hipokampus.
Girus singulata yang berfungsi
sebagai penghubung antara bagian pengatur emosi pada sistem limbik dengan
bagian yang mengatur kecerdasan kognitif pada kulit otak. Bagian lain dari
sistem limbik adalah badan amigdala yaitu sekumpulan sel neuron yang berfungsi
sebagai penerima utama data rangsangan yang berasal dari indera penglihatan dan
pendengaran. Rangsangan pada daerah amigdala dapat menimbulkan sensasi
ketakutan dan ketertarikan pada lawan jenis serta reaksi kemarahan atau
kegemaran terhadap suatu kedaan. Dan bagian terakhir yang tak kalah pentingnya
adalah hipokampus. Hipokampus berperan sebagai pusat pemilihan data rangsangan
yang akan diolah oleh otak. Data yang penting akan dipertimbangkan untuk
menjadi bagian struktur memori, sedangkan yang tidak penting tidak akan
diproses lebih lanjut.
Otak kita juga dilengkapi dengan
cairan ajaib yang bernama neurotransmitter yang berfungsi sebagai penghubung
antar sel-sel otak sekaligus dapat mempertimbangkan proses terbaik bagi kerja
otak. Cairan ini dalam satu kondisi
dapat memperkuat sinyal rangsangan dan pada kondisi lain, ia dapat
menghambat sinyal rangsangan. Kemampuan inilah yang kemudian dapat
mengembangkan sikap peka dan pembiasaan.
Pada kasus film Uttaran dan
Tersanjung, otaklah yang menjadi biang keladinya. Kisah cinta yang romantis,
dramatis, mengandung tragedi, dan hubungan emosi yang tak terduga atau
spektakuler yang disuguhkan oleh kedua film ini akan merangsang sistem
neuroendokrin kita untuk menghasilkan endorfin, dofamin, serotonin dan
efinefrin. Kuartet maut neurotransmitter ini mampu menghidupkan kebahagiaan
dunia. Jika orang-orang untuk menghidupkan kabahagiaan dunia sesaat sering
mengambil jalan salah dengan mengonsumsi barang terlarang narkoba, sesungguhnya
otak telah didesain untuk menghasilkan morfinnya sendiri yaitu endorfin. Subhanallah! Perasaan
senang dan efek ketagihan yang dihasilkan
oleh neurotransmitter ini kemudian menyebabkan kita akan merindukan dan
menantikan drama serta kisah selanjutnya, padahal sebelumnya kita sangat kesal dan bersumpah tidak mau menonton lagi. Bahkan efek ketagihan ini akan menimbulkan sikap penasaran, maka tidak aneh bagi pemirsa yang
tidak sabar untuk mengetahui jalan cerita selanjutnya atau akhir kisahnya
browsing sinopsis di internet atau menonton via youtube menjadi jalan terbaik.
Kisah maha dramatis dan tragedi
yang maha tragis yang disajikan kemudian mengguncang amigdala pada sistem
limbik kita, juga nukleus kaudatus, dan nukleus talamikus. Selanjutnya, jika
kesenangan otak tadi ternyata menjanjikan kesenangan-kesenangan lanjutan yang
lebih wow, maka sistem otak kita akan menyimpannya baik-baik di dalam
hipokampus. Sementara efek dramatis berupa kesedihan, kemalangan akan disimpan di dalam korpus amigdala.
Untuk mempertahankan kenyamanan
dan “membohongi” bagian otak lainnya tentang sebuah kondisi semu (tidak nyata)
diperankan oleh Ascending Reticular Activation System (ARAS) dari batang
otak, pons, sistem limbik, talamus, dan lobus frontalis. Pada saat kita
memelototi TV, memainkan tokoh rekaan yang merupakan representasi imajinasi
kita, bagian-bagian otak mengontrol proses mendengar, berbahasa, dan mengambil
keputusan seolah kita terlibat aktif dan memerankan kehidupan pemeran serial
TV. Kita merasa diri kita adalah Ichcha dalam film Uttaran dan Indah dalam
sinetron tersanjung. Pantaslah kiranya jika pemirsa akan meneteskan air mata
saat “dirinya” disiksa, ditipu, dibohongi, dan didzalimi. Wajar pula jika
sebagaian pemirsa akan menghujat, mencela, bahkan mencemooh para pemeran
antagonis sebagai orang tak berperasaan, tak punya hati dan tak tahu balas
budi. Kita lupa bahwa itu semua hanya sebuah sekenario sutradara semata.
Lalu bagaimana dampak
lanjutannya? Ingatlah! Otak bersifat plastis dan pandai menyesuaikan diri
dengan metode latihan yang diterapkan. Jika otak dilatih untuk mengingat atau
menghapal jadilah otak yang cerdas menghapal. Jika otak dilatih untuk tanggap
dengan lingkungan, jadilah otak yang tanggap dengan lingkungan. Demikian pula
dengan otak yang dibiasakan dengan tontonan seperti ini, jadilah kita
pribadi-pribadi dengan jalur produksi kognitif yang sempit dan sulit mengolah
data sensori yang sesungguhnya karena otak dibiasakan dengan hal-hal yang tidak
nyata. Lihatlah ibu-ibu bisa menjadi tak peduli dengan lingkungannya, lupa
mengurus anak, pekerjaan, dan bahkan suami.
Menonton tayangan televisi untuk hiburan wajar dilakukan. Namun, pemilihan program yang sesuai dan layak dikonsumsi keluarga -terutama anak-anak kita- dan tidak berlebihan bijak untuk dilakukan. Terlebih jika kesenangan pribadi justru melupakan kewajiban kita terhadap anak, isteri, suami dan terutama terhadap Allah SWT.
Saya tidak bermaksud
mendiskriminasi tayangan televisi Uttaran, mengingat tayangan lain pun yang sejenis termasuk sinetron asli Indonesia jauh
dari kata layak dikonsumsi oleh masyarakat. Cerita penindasan orang kaya
terhadap orang miskin, penderitaan yang
tak kunjung usai yang dialami Ichcha, sifat egois Tapsya, manja dan
menghalalkan segala cara tentu sedikit banyaknya akan mempengaruhi mental
penonton terutama anak-anak dan remaja. Tidak menutup kemungkinan dalam pikiran
mereka terbentuk persepsi salah tentang orang baik. Orang baik identik dengan
penderitaan dan kemalangan yang tak berujung. Giliran mendapatkan kesenangan, eh filmnya selesai. Kapan orang baik menikmati kebahagiaannya. Sementara orang jahat selalu
mendapatkan kebaikan dan keberuntungan, walaupun pada akhirnya mereka akan mendapatkan karmanya. Tapi cukup dengan minta maaf dan bertobat beres urusan. Begitu mudahnya.
Kita adalah sensor terbaik untuk
anak-anak kita. Semoga tulisan ini bisa mencerahkan kita semua.
Silahkan baca juga artikel terkait di bawah ini!
Kartini Doeloe Kini dan Nanti
Mengintip Isi Surat Cinta R.A Kartini
Melacak Kebenaran Isra Mi'raj dengan Teori Relativitas dan Teori Dimensi
Silahkan baca juga artikel terkait di bawah ini!
Kartini Doeloe Kini dan Nanti
Mengintip Isi Surat Cinta R.A Kartini
Melacak Kebenaran Isra Mi'raj dengan Teori Relativitas dan Teori Dimensi
0 Response to "Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak)"
Posting Komentar