Kartini Doeloe Kini dan Nanti - Berbagi Ilmu

Berbagi Ilmu

Kartini Doeloe Kini dan Nanti

Ada yang menarik dari salah satu kutipan surat Kartini untuk sahabatnya Ny Abendanon.
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.”

Kartini mengungkapkan cita-cita terbesarnya untuk menjadi Hamba Allah. Sebuah tujuan mulia sekaligus menunjukkan kesalehan hati seorang Kartini.

Hamba Allah yang hakiki adalah hamba-Nya yang mampu memurnikan hatinya, menjernihkan pikirannya, serta memantapkan langkah kakinya untuk berbuat sebesar-besarnya bagi kemanfaatan dan kemaslahatan umat atas dasar panggilah hati tanpa pamrih. Kartini paham betul untuk mencapai predikat hamba Allah, maka langkah, ucapan, cita-cita, keinginan,  pengorbanan dan perjuangannya harus senantiasa didasari keikhlasan hati.

“Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Dibawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi”.

Maka pantaslah kiranya selain pengabdian dan pengorbanana, keikhlasan hati tanpa pamrih menjadi tolok ukur layak tidaknya seseorang ditasbihkan menjai kartini baru. Kartini masa kini dan kartini masa yang akan datang.

Nama-nama berikut kiranya pantas dijadikan prototipe kartini-kartini baru untuk masa kini dan nanti.
1.         Een Sukaesih

Namanya sudah tidak asing lagi. Seorang guru mulia yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk pendidikan. Keterbatasan fisik tidak menghalanginya untuk terus mengabdi demi bangsa. Penyakit Rheumathoid Artitis yang sejak kelas 3 SPG dideritanya yang kemudian menyebabkan kelumpuhan pada hampir semua bagian tubuhnya, tak sedikitpun melunturkan cita-citanya untuk menjadi seorang pendidik. Walau harus berbaring ia layani semua muridnya yang datang dengan cinta, kasih sayang, dan kemurnian hati.
Pantaslah jika pengabdiannya berbuah berbagai penghargaan, di antaranya Dompet Dhuafa Award 2010, Education Award dari Bank Syariah Mandiri (BSM), penghargaan dari almamaternya Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Kartini Award 2012 dan Tupperware She Can! Serta menerima penghargaan khusus Special Achievement Liputan6 Award untuk kategori Inovasi, Kemanusian, Pendidikan, Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan. Penghargaan paling besar tentunya datang dari seluruh bangsa Indonesia. Engkau adalah pahlawan kami. Pahlawan sebenar-benarnya pahlawan. Pahlawan tanpa tanda jasa. Hormat ta’dzim kami bagimu. Pengabdianmu teladan bagi kami.
Doa kami untukmu pahlawanku. Semoga Allah SWT senantiasa merahmatimu !
2.         Safrina Rovasita
Lahir di Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kelainan cerebral palsy (CP) yakni suatu kelainan pada otak. Kelainan yang disandangnya ini menyebabkan ia sulit mengendalikan gerakan anggota badan dan sulit berbicara. Tapi seperti pendahulunya, ibu Een, lagi-lagi keterbatasannya tidak sedikitpun mencegahnya untuk menjadi guru dan menyebar manfaat untuk orang lain.
Cita-citanya sungguh mulia, memberikan kesempatan yang sama kepada para difabel untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak.
"Mereka membutuhkan pendidikan selain terapi dan kesehatan lainnya, terapi sendiri itu satu pertemuan 50 ribu, bayangkan," kata Safrina Rovasita seperti yang dikutip Liputan6.com
Perjuangan dan kegigihannya melawan keterbatasan fisiknya ingin ia bagikan kepada anak didiknya yang memiliki nasib yang sama dengan dirinya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia kemudian mengabdikan dirinya untuk mendidik anak-anak difabel di Sekolah Luar Biasa (SLB) Yapenta Yogyakarta. Selain aktif mengajar di sekolah Safrina juga membentuk sebuah komunitas untuk mewadahi keluarga para penyandang CP. Dalam komunitas ini tiap anggota bisa saling menghibur dan memotivasi.
"Saya mengajar bukan untuk murid saya saja, tapi juga untuk lingkungan saya" tegas Safrina Rovasita.
3.         Heni Sri Sundani (Heni Jaladara)
Namanya sempat ramai dibicarakan dan banyak mengisi kolom-kolom pada media masa serta muncul diberbagai tayangan televisi. Betapa tidak, sempat menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Hongkong sebagai baby sitter, ia kemudian kembali ke tanah air untuk mengabdikan diri sebagai pengajar di kampung halamannya. Hasil pengabdiannya kemudian membuahkan berbagai penghargaan yang membawanya menjadi Top 30 Social Entrepreneur Asia versi majalah Forbes Internasional 2016.

Lahir di ciamis dari keluarga sederhana, Heni sempat menunda keinginannya untuk melanjutkan pendidikannya selepas lulus dari Sekolah Menengah Atas. Namun kecintaanya terhadap ilmu mendorongnya untuk terbang ke Hongkong sebagai TKI. Tujuannya tiada lain agar mendapatkan biaya untuk melanjutkan pendidikannya. Setelah lulus D3 jurusan IT Topex Hong Kong, kehausannya terhadap ilmu mengantarkannya merengkuh gelar S1 jurusuan Entrepreneurial Management Saint Mary's University Hong Kong dengan nilai sangat memuaskan.

Cita-citanya menjadi seorang guru menginspirasinya untuk mendirikan AgroEdu Jampang Community bersama suaminya sepulangnya dari Hongkong. Komunitas tersebut dibentuk untuk mewadahi para petani dan keluarganya. AgroEdu Jampang Community mempunyai empat program besar, yaitu program pendidikan, pemberdayaan ekonomi, kesehatan, dan sosial dakwah.

Sudah banyak program yang telah digagas Heni dengan Komunitas yang dipimpinnya. Dalam bidang pendidikan misalnya, Heni telah membuat gerakan anak petani cerdas. Heni berharap, dengan adanya komunitas tersebut, pendidikan dan informasi bisa mengubah nasib mereka, seperti nasib yang dialaminya.
"Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk memutus mata rantai kemiskinan," kata Heni seperti dikutip Republika, Jumat (8/4).

Tidak hanya mengabdi dengan membina anak-anak kampung tersebut, Heni saat ini juga membina sebuah pesantren di Cigombong. Sebagian besar santrinya adalah anak-anak buruh tani miskin. Bersama para relawan, Heni terus membina anak-anak tersebut sehingga kelak mereka menjadi harapan untuk memutus mata rantai kemiskinan dalam keluarganya.   Saat ini lebih dari 1000 anak menjadi binaannya.

Kerja keras dan kerja ikhlasnya kini telah membawanya mendapatkan berbagai penghargaan sebut saja diantaranya:
1)        Top 30 Social Entrepreneur Asia (Forbes Internasional 2016)
2)        Top 300 Promising Young Leader Asia (Forbes 2016)
3)        Perempuan Inspiratif NOVA Bidang Pendidikan (2015)
4)        Anugrah Komunikasi Indonesia-KOMINFO (2015)
5)        TRUBUS-Kusala Swadaya Award (2015)
6)        Pahlawan Sosial Terpilih- Social Entrepreneur Academy (2014)

4.         Guru-guru mulia
Tidak adil rasanya jika saya tidak memasukkan nama guru-guru wanita sebagai kartini masa kini. Pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran mereka tentu memberi andil besar menciptakan kartini-kartini baru. Siapa yang telah mendidik bu Een menjadi guru mulia? siapa yang telah menanamkan nilai-nilai pengorbanan, perjuangan dan kegigihan kepada Safrina Rovasita? Siapa pula yang mengajarkan keikhlasan memberi dan berbagi kepada Heni Jaladara? Inspirasi mereka adalah guru-guru mereka

5.         Ibu Kita
Dan Kartini sesungguhnya tentu saja adalah ibu kita sendiri. Tengoklah pengorbanan dan kasih sayang mereka yang tak terbatas telah berhasil menciptakan karakter-karakter kartini yang cerdas, kokoh dan ikhlas memberi. Ibunya Kartini, bu Een, Safrina Rovasita, Heni Jaladara, ibunya ibu guru, dan ibu kita adalah Kartini itu.

6.         Kartini nanti
Jangan lupakan Calon Kartini-Kartini ini. Ya, anak-anak perempuan dan anak-anak didik kita mereka adalah kartini masa depan. Merekalah yang nantinya akan menggantikan Kartini doeloe dan Kartini kini.  Penanaman nilai-nilai pengorbanan, keikhlasan untuk berbagi dan memberi, gigih dalam berbakti, tak kenal menyerah sepantasnya ditanamkan sejak dini untuk Indonesia lebih baik.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kartini Doeloe Kini dan Nanti"

Posting Komentar