Melacak Kebenaran Isra Mi’raj dengan Teori Relativitas dan Teori Dimensi
Isra Mi’raj merupakan peristiwa
fenomenal dan maha dahsyat sekaligus mengundang banyak pertanyaan, kajian, dan
penelitian akan kebenarannya. Jika ukuran kebenarannya logika, tentu isra
mi’raj ditanggapi sebagai hal konyol, bohong, dan gila. Betapa tidak,
perjalanan Rasulullah SAW pulang pergi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha,
dilanjutkan perjalanan melanglang buana melewati batas dimensi menuju Sidratul muntaha,
secara logika mustahil ditempuh kurang dari semalam. Standar kebenaran logika inilah
yang dijadikan sandaran oleh kaum musyrikin Makkah dan sebagian umat Islam yang
rendah keimanannya. Maka pantas jika mereka menganggap kebenaran isra mi’raj
yang disampaikan Rasulullah SAW sebagai lelucon, berita bohong dan gila. Bahkan
sebagian umat islam berbalik murtad sesaat setelah mendengar berita ini.
Tapi bukankah ukuran kebenaran mutlak
adalah agama yang bersumber dari wahyu? Yang landasannya bukan hanya dari
logika tapi juga budi nurani yang merupakan puncak kesadaran manusia? Budi
nurani yang merupakan puncak kesadaran manusia (iman) inilah yang menjadi
landasan Abu Bakar R.A mempercayai sepenuhnya berita yang disampaikan Nabi
Muhamad SAW.
Maka dari sudut pandang kebenaran
agama inilah kita sebagai umat islam harus mempercayai isra mi’raj sebagai
salah satu mukjizat yang dianugerahkan Allah SWT untuk hamba terkasih-Nya
Muhammad SAW. Tidak ada keraguan sedikitpun akan kebenarannya. Allah sendiri
yang menjamin kebenarannya di dalam Al-Quran dan Hadits. Tapi bukan berarti
kita mengesampingkan akal untuk memahami peristiwa ini. Bukankah Allah sendiri
yang memerintahkan kita untuk memikirkan semua ciptaan-Nya termasuk peristiwa
Isra Mi’raj ini.
Tulisan berikut dibuat sebagai usaha
penulis melacak kebenaran peristiwa Isra Mi’raj dari sudut pandang sains
terkini. Tulisan ini sekali lagi nukan untuk membandingkan peristiwa mukjizat dengan ilmu pengetahuan, karena memang tidak bisa dibandingkan. Tulisan ini dibuat hanya untuk meyakinkan bahwa kalau ilmu pengetahuan manusia yang sangat sedikit dan terbatas saja mampu memahami peristiwa tersebut tentu tidak ada keraguan bagi Allah yang maha Kuasa untuk bisa melakukannya. Penulis menyadari terlalu dangkal ilmu yang penulis miliki terlebih
sains dari waktu ke waktu terus berkembang. Bisa saja seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tulisan ini kemudian di lain waktu
tidak relevan sama sekali. Tapi walaupun demikian, penulis sekali lagi meyakinkan
bahwa tulisan ini sama sekali tidak akan merubah sedikit pun kebenaran Isra
Mi’raj.
Kebenaran Isra Mi’raj dalam Al-quran
dan Hadits
Isra Mi’raj terjadi pada periode
akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Menurut
al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi'raj terjadi pada tahun pertama sebelum
hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Ada sedikitnya enam pendapat tentang
waktu kejadian Isra Mi’raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan
demikian, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra Mi'raj. Menurut
al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi'raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10
kenabian, dan inilah yang populer. Namun, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri
menolak pendapat tersebut dengan alasan karena Khadijah radhiyallahu anha
meninggal pada bulan Ramadan tahun ke-10 kenabian, yaitu 2 bulan setelah bulan
Rajab, dan saat itu belum ada kewajiban salat lima waktu. Mayoritas ulama di
Indonesia sendiri meyakini Isra Mi’raj jatuh pada tanggal 27 Rajab.
Terlepas dari silang pendapat para
ulama tentang kapan terjadinya isra mi’raj, kebenaran isra mi’raj telah dijamin
oleh Allah SWT melalui Firman-Nya dalam Surah Al-Israa’ ayat 1:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا
إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda–tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”
Berdasarkan ayat di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dan kemudian bisa dijadikan alasan untuk membenarkan peristiwa isra dan mi’raj.
Pertama, Allah memulai ungkapan-Nya
dengan Subhâna (Maha Suci Allah), suatu ungkapan yang dalam ilmu bahasa Arab
disebut ta’ajjubiyah (kekaguman). Ungkapan kekaguman sendiri biasanya digunakan
untuk sesuatu yang luar biasa dan menakjubkan. Subhâna berasal dari kata sabaha
yang berarti menjauh. Berenang dalam bahasa Arab juga disebut dengan kata
sabaha, karena seorang yang berenang pada prinsipnya dia menjauh dari tempat
pertama dia berada. Dengan demikian, subhâna berarti kita berupaya menjauhkan
Tuhan dari segala bentuk kekurangan atau sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan,
baik nama, sebutan, ucapan, gelar dan sebagainya. Kita menjauhkan Tuhan dari
segala cacat, kekurangan dan kelemahan. Melalui Ayat ini Allah SWT hendak
menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Peristiwa yang
menurut akal mustahil, bagi Allah sangat mudah dilakukan. Bukankah Allah SWT
zat yang Maha Kuasa?
Kedua, bahwa ayat di atas menggunakan
kata asrâ yang merupakan kalimat fi’il madli muta’addi yang berarti
memperjalankan. Oleh karena itu, Rasulullah saw tidak berjalan sendiri namun
diperjalankan Allah swt. Jika Allah swt yang memperjalankan, tentu tidak
terikat waktu dan ruang yang dikenal manusia, karena Allah sendiri tidak
terikat ruang dan waktu dan berada di luar ruang dan waktu. Oleh karena itu,
sangat mungkin perjalanan itu dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, bahkan
lebih singkat dari waktu itu.
Logika sederhananya seperti ini, ada
seekor semut yang bercerita kepada temannya, bahwa ia beberapa jam yang lalu
pergi ke Jakarta dari Papua dan sekarang tiba kembali di Papua. Tentu saja
temannya tidak percaya jika mengukurnya dengan kemampuan yang dimiliki seekor
semut. Namun, kalau ia menjelaskan kepada temannya bahwa ia tidak berjalan sendiri,
namun ketika itu berada di dalam kantong seseorang yang berangkat ke Jakarat
dengan pesawat lalu dibawa lagi kembali ke Papua melalui cara yang sama, sepertinya
temannya akan mempercayainya. Begitulah kira-kira peristiwa isra dan mi’raj
yang dialami Rasullah saw.
Bukti kebenaran lain terlukis dalam
sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabnya Hadits Shahih
Muslim yang secara gamblang menjelaskan perjalanan malam Nabi dan diangkatnya
ke langit untuk bertemu langsung dengan Allah SWT dan kemudian menerima perintah kewajiban
shalat lima waktu:

Melacak Kebenaran Isra Mi’raj dengan
Teori Relativitas dan Teori Dimensi
Perjalanan Isra dan Mi’raj Nabi
Muhammad SAW melewati dua tahap perjalanan yaitu Isra dari Masjidil Haram
menuju Masjidil Aqsha dan mi’raj yaitu perjalanan dari Masjidil Aqsha menuju
Sidratul Muntaha.
Perjalanan Isra

Selain Jibril as dan kawan-kawan,
dihadirkan juga kendaraan khusus bernama Buraq, makhluk berbadan cahaya dari
alam malakut. Nama Buraq berasal dari kata barqun yang berarti kilat. Kita
asumsikan bahwa perjalanan dari kota Makkah ke Palestina berkendaraan Buraq
tersebut ditempuh dengan kecepatan cahaya, sekitar 300.000 kilo meter per
detik.
Pertanyaan yang paling mendasar adalah
bagaimana bisa Rasulullah Saw yang terbuat dari materi padat melakukan
perjalanan dengan kecepatan cahaya? Seandainya badan bermateri padat seperti
tubuh kita dipaksakan bergerak dengan kecepatan cahaya, bisa diduga apa yang
akan terjadi. Badan kita mungkin akan tercerai-berai karena ikatan antar
molekul dan atom bisa terlepas.
Jawaban yang paling mungkin untuk
pertanyaan itu adalah tubuh Rasulullah Saw diubah susunan materinya menjadi
cahaya. Bagaimanakah hal itu mungkin terjadi? Lagi-lagi kita mempertanyakan
kekuasaan Allah. Bagi Allah gampang saja. Berdasarkan pengetahuan kita yang ada
sekarang, teori yang memungkinkan untuk menjelaskan ini adalah teori
Annihilasi. Teori ini mengatakan bahwa setiap materi (zat) memiliki anti
materinya. Dan jika materi direaksikan dengan anti materinya, maka kedua
partikel tersebut bisa lenyap berubah menjadi seberkas cahaya atau sinar gamma.
Hal ini telah dibuktikan di
laboratorium nuklir bahwa jika partikel proton direaksikan dengan antiproton,
atau elektron dengan positron (anti elektron), maka kedua pasangan tersebut
akan lenyap dan memunculkan dua buah sinar gamma, dengan energi masing-masing
0,511 MeV (Multiexperiment Viewer) untuk pasangan partikel elektron, dan 938
MeV untuk pasangan partikel proton.
Sebaliknya apabila ada dua buah
berkas sinar gamma dengan energi sebesar tersebut di atas dilewatkan melalui
medan inti atom, maka tiba-tiba sinar tersebut lenyap berubah menjadi 2 buah
pasangan partikel tersebut di atas. Hal ini menunjukkan bahwa materi bisa dirubah
menjadi cahaya dengan cara tertentu yang disebut annihilasi dan sebaliknya.
Nah, kalau dihitung jarak Mekkah –
Palestina sekitar 1500 km ditempuh dengan kecepatan cahaya, maka hanya
dibutuhkan waktu sekitar 0,005 detik dalam ukuran waktu kita di bumi. Sehingga
perjalanan pulang pergi Rasulullah SAW kira-kira membutuhkan wktu sekitar 0,01
detik saja. Sesampainya di Palestina tubuh Rasulullah Saw dikembalikan menjadi
materi. Peristiwa ini mungkin lebih dikenal seperti teleportasi dalam teori
fisika kuantum.
Perjalanan Mi’raj
Setelah Rasulullah melakukan
perjalanan isra, selanjutnya Rasulullah melanjutkan perjalanan Mi’raj yaitu
perjalanan Nabi dari Masjidil Haram menuju Sidratul Muntaha melewati langit
pertama, kedua, ketiga sampai langit ketujuh. Perjalanan Beliau bertemu dengan
Allah SWT diceritakan oleh Allah SWT di dalam surat an-Najm 14-18:
(14) (yaitu) di Sidratul Muntaha.
(15) Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (16) (Muhammad melihat Jibril)
ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (17)
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak
(pula) melampauinya. (18) Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.
Berbeda dengan perjalanan isra, perjalanan
mi’raj Nabi melewati ruang antar dimensi. Perjalanan mi’raj Nabi bukanlah
perjalanan berjarak jauh atau pengembaraan angkasa luar, melainkan perjalanan
menembus batas dimensi. Karena walaupun tubuh Rasulullah SAW diubah menjadi
cahaya kemudian melakukan perjalanan mengarungi angkasa dengan kecepatan cahaya seperti perjalanan dari Mekkah ke
Palestina, maka mustahil bisa ditempuh dalam waktu singkat. Bukankah untuk
menempuh diameter alam semesta diperlukan 30 miliar tahun dengan menggunakan
kecepatan cahaya? Lalu bagaimana caranya Allah SWT memerjalankan Rasulullah SAW
menuju Sidratul Muntaha? Bisa saja Allah SWT menjadikan kecepatan Rasulullah
SAW melebihi kecepatan cahaya, tapi tentu untuk menejelaskannya dari sudut pandang
sains membutuhkan dasar yang telah disepakati. Mengingat hasil penelitian yang
telah disepakati menunjukkan bahwa kecepatan cahaya merupakan kecepatan
tertinggi saat ini, maka menjelaskan perjalanan mi’raj Nabi dengan kecepatan
melebihi kecepatan cahaya kita kesampingankan terlebih dahulu. Teori yang lebih
mungkin untuk menjelaskan hal ini adalah teori antar dimensi.


Kita hidup di alam yang dibatas oleh
dimensi ruang-waktu (tiga dimensi ruang –mudahnya kita sebut panjang, lebar,
dan tinggi –, serta satu dimensi waktu ). Sehingga kita selalu memikirkan soal
jarak dan waktu. Dalam kisah Isra’ mi’raj, Rasulullah bersama Jibril dengan
wahana “buraq” keluar dari dimensi ruang, sehingga dengan sekejap sudah berada
di Masjidil Aqsha.
Perjalanan Rasul melakukan Isra
Mi’raj bukan sebuah mimpi karena Rasulullah dapat menjelaskan secara detil
tentang masjid Aqsha dan tentang kafilah yang masih dalam perjalanan. Selain
itu perjalanan fisik Rasulullah merupakan pembuktian akan kemahakuasaan Allah
SWT. Rasul juga keluar dari dimensi
waktu sehingga dapat menembus masa lalu dengan menemui beberapa Nabi. Di langit
pertama (langit dunia) sampai langit tujuh berturut-turut bertemu (1) Nabi
Adam, (2) Nabi Isa dan Nabi Yahya, (3) Nabi Yusuf, (4) Nabi Idris, (5) Nabi
Harun, (6) Nabi Musa, dan (7) Nabi Ibrahim. Rasulullah SAW juga ditunjukkan
surga dan neraka.
Berdasarkan teori dimensi ini, posisi
langit pertama dengan langit kedua, ketiga sampai ketujuh tidak bertumpuk
seperti kue lapis. Lantas di manakah langit kedua? Langit kedua ternyata tidak
nun jauh di sana, tetapi di sini juga. Langit kedua, ketiga, keempat, kelima,
keenam, dan ketujuh, Sidratul Muntaha surga dan neraka di sini juga. Kalau
begitu perjalanan Mi’raj itu seperti apa? Perjalanan Rasulullah dari langit
pertama ke langit kedua adalah dengan cara masuk ke dimensi yang lebih tinggi.
Hilang dari sini kemudian sudah berada di dimensi yang lebih tinggi yang itu
tempatnya di sini juga.


Begitulah kira-kira analogi bagaimana
Rasulullah Saw melakukan perjalanan antar dimensi. Dengan kehendak Allah Swt,
Jibril yang merupakan makhluk berdimensi lebih tinggi dari manusia membawa
Rasulullah Saw melakukan perjalanan dari langit pertama hingga langit ke tujuh
lalu menuju ke Sidratul Muntaha. Perjalanan ini bukan perjalanan jauh seperti
telah disebutkan tadi. Kejadian itu terjadi di tempat Rasulullah Saw terakhir
duduk shalat di Masjidil Aqsa Palestina, karena ruang berdimensi 4, 5 dan
seterusnya itu persis berada di sebelah kita, hanya kita tidak melihatnya dan
tidak bisa mencapainya.
Wajar saja perjalanan Isra Miraj
Rasulullah Saw dari Mekkah ke Palestina dan kemudian dilanjutkan dengan
perjalanan ke Sidratul Muntaha hanya terjadi dalam semalam. Bayangkan dalam
zaman ketika pemahaman manusia tentang sains dan teknologi belum seperti
sekarang, seorang Abu Bakar Ash Shiddiq Ra. Sahabat yang suci bisa beriman dan
menerima kebenaran cerita Rasulullan Saw tanpa sanggahan.
Begitu dekatnya jarak alam dunia (langit
pertama) dengan alam akhirat (langit ketujuh) yang sangat dekat sudah
digambarkan oleh hadist dari Jabir bin Abdullah. Ketika itu Rasulullah Saw
didatangi oleh lelaki berwajah bersih dan berbaju putih (yang ternyata adalah
malaikat Jibril as yang memasuki dimensi alam manusia) :
Bertanya orang itu lagi (yakni Jibril
as), “Berapakah jaraknya dunia dengan akhirat?” Bersabda Rasulullah SAW, “Hanya
sekejap mata saja.”
Wallahu ‘alam bishawwab
Sumber Referensi:
Setiawan, Sandi.1990. Theory of
Everything. Andi Offset: Yogyakarta
Teori Kebenaran Kisah Perjalanan
Isra' Mi'raj Nabi Muhammad
http://mosleminfo.com/2013/06/05/isra-miraj-dalam-kacamata-sains-modern.html
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=13774
Buku Serial Diskusi Tasawwuf Modern
“Terpesona di Sidratul Muntaha” oleh Agus Mustofa.
http://tendouku.files.wordpress.com/2008/12/enigma-wallpaper34.jpg
Lihat Juga Artikel Berikut!
0 Response to "Melacak Kebenaran Isra Mi’raj dengan Teori Relativitas dan Teori Dimensi"
Posting Komentar