Seribu Cerita Tentang Mukidi Bagian 2
Makan Siang (Launch)
Pulang Jum’atan, Mukidi diajak
ustad yang mengisi khutbah siang ini makan siang di Sederhana. Maklum amplop
pak ustad siang ini cukup tebal.
sederhana“Ayo mas, sikat saja…”
kata ustad, begitu makanan selesai dihidangkan. Bagaikan musafir yang menemukan
air di padang pasir, Mukidi mengawali makan siangnya dengan ayam pop lengkap,
lalu gulai kepala ikan, giliran berikutnya udang goreng yang menggoda. Pak
ustad juga tak kalah gesit. Yang penting halal, lagipula mentraktir orang,
besar pahalanya.
Mukidi melengkapi makan siang
yang mengesankan itu dengan jus durian. Pak ustad memanggil pelayan untuk
menghitung jumlah makanan yang mereka embat. Seperti biasa, si pelayan cekatan
sekali menghitung tanpa kalkulator.
“Ustad, apa doanya sesudah
makan?” tanya Mukidi sambil mencuci tangan
“Astaghfirullah!” ustad berseru.
“Loh doanya sudah ganti ya? koq
astaghfirullah?”
“Bukan! itu doa kalau melihat bon
makan siang….”
The Missing Stick (Sodokan yang
Hilang)
Putuarno, si tukang putu
tergopoh-gopoh di bawah guyuran hujan.
“Bang, putu…. kesini.” seseorang
memanggil. Mas Putu agak enggan menghampiri orang yang memanggilnya: “maaf bu,
saya mau pulang.” “Emang sudah habis?” tanya Markonah, wanita yang
memanggilnya. ” “Masih banyak bu.” “Saya pesan 10, buat nyuguhin tamu.” “Tapi
bu, sodokan putunya hilang, saya sudah cari-cari gak ketemu, mangkanya saya mau
pulang.” “Yaah masa gak bisa diakali sih bang?”
Mas Putu terpaksa menuruti
permintaan langganannya.
Markonah masuk ke rumah mengambil
uang. Beberapa menit kemudian; “Ini bu, putunya…” “Loh koq cuman 6? saya kan
pesan 10?” “Maaf bu saya sudah gak tahan, sampai lemas dan melepuh kulit
saya gara-gara menyodoki putu…..” “Emang nyodoknya pakai apa bang?” “Yaah pakai jempol,
memangnya ibu pikir saya nyodok pakai apa?”
Don’t Do It at Home (Jangan lakukan ini di Rumah)
“Dulu, dengan uang Rp. 5.000,-
masuk supermarket, saya sudah bisa
mendapatkan; sabun mandi, deterjen, Indomi, susu kaleng, kecap mentega, bahkan
rokok.” mbah Martokapiran mengenang masalalunya.
“Sekarang segalanya serba mahal
ya mbah?” celetuk Mukidi.
“Bukan! CCTV ada di mana-mana.”
Mukidi Bite (Gigitan Mukidi)
Didorong rasa nasionalisme yang
tingi, Mukidi dan Wakijan mendaftarkan diri untuk dikirim ke Somalia.
Setelah mengikuti berbagai tes,
kedua sahabat anda ini berhasil lulus dengan memuaskan, kemudian dilanjutkan
dengan tes fisik. Keduanya lolos.
Mereka menjalani tes di RSPAD
dengan penuh keyakinan. Sementara Wakijan lolos, Mukidi justru harus menelan
pil pahit. Kawan anda gagal, hanya gara-gara masalah gigi.
Merasa diperlakukan tidak adil,
Mukidi langsung menghadap sang komandan.
“Pak, saya mau tanya, memangnya
nanti kalau kita berperang melawan perompak, kita harus saling gigit? Bukannya
pakai senapan?”
Cartoon Freak
Markonah diajak suaminya ke
Singapura. Karena Mukidi sedang mengikuti meeting, maka dia ditinggal sendirian
di kamar hotel. Ketika Markonah hendak ke kamar mandi, tiba-tiba seekor tikus
nongol entah dari mana. Markonah buru-buru menghubungi front desk.
“Hello, do you know Tom and
Jerry?”
“Of course mam,” jawab front
desk.
“Jerry is here…” lanjut Markonah
gugup.
The Party (PESTA)
Pak Martokapiran yang hidup
menduda sejak ditinggal istrinya, merasa tertolong dalam mengolah tanah perkebunannya,
ketika Mukidi, seorang mahasiswa
pertanian yang sedang KKN memberikan penyuluhan dan bantuan pada musim tanam.
Menjelang akhir tugasnya, pak
Marto bicara dengan pemuda itu: “Nak Mukidi, saya berterimakasih sekali sudah
dibantu mengolah tanah saya, juga terimakasih sudah diberi penyuluhan. Untuk
itu saya akan mengadakan pesta perpisahan untuk-mu.” katanya.
“Terimakasih banyak pak,” Mukidi
gembira, “jangan repot-repot.”
“Asal kamu kuat minum saja,” kata pak Marto,
“soalnya aku akan menyediakan banyak bir.” tambahnya. “Ah bapak tahu saja,”
jawab Mukidi, “kebetulan selama disini tidak setetespun alkohol masuk
kerongkongan saya.”
“Lalu ada gulat,” kata pak tua
lagi, “kuharap ototmu cukup kuat.”
“Jangan kuatir pak,” jawab Mukidi walaupun ‘gak faham, “selama disini
fisik saya terlatih sangat baik.”
Pak tua tertawa, “kau pasti juga
suka sex bukan?” Mukidi nyengir, namun bayangan gadis-gadis desa yang masih
ranum dan lugu berputar-putar di kepalanya. Pikirannya mulai ngeres. gay
“Ngomong-ngomong saya harus pakai
baju apa pak?” tanya Mukidi sumringah. “Terserah, apa saja yang kau suka, mau
pakai batik boleh, pakai jins juga boleh “jawab pak Marto, “wong pestanya cuman
kita berdua koq….”
The Club (Kelab)
Mbah Wakidi mendaftarkan diri
dalam kelab eksklusif orang-orang nudis. Setelah membayar uang pendaftaran Rp.
5 juta, si petugas memberikan kartu anggota, buklet peraturan dan fasilitas
serta kunci loker. Si mbah masuk loker, lalu melucuti semua bajunya, kemudian
mulai berkeliling melihat fasilitas kelab itu.
Laki-laki perempuan tlenji
berlalu-lalang tanpa sungkan. Seorang cewek semlohay lewat di depan Wakidi,
membuat ‘si kecil’ menjadi besar. Si sem-lohay tiba-tiba berhenti: “Bapak
memanggil saya?”
“Tet..tidak…apa maksud nona?”
mbah Wakidi gelagapan. “Bapak anggota baru ya?” kata si gadis, “kalau dia
menunjuk berarti bapak mengundang saya,” lanjut si gadis, “yuuuuk…” si semlohay
mengajak ke tempat sepi, kemudian menggelar handuk…..
Mbah Wakidi melanjutkan
melihat-lihat fasilitas lainnya. Dilihatnya sauna. Si mbah duduk dan…. duuut si
mbah kentut. Tiba-tiba seorang pria berbadan besar, dada berbulu,
menghampirinya. ”Bapak memanggil saya, ya?” tanya pria guede tadi.
“Tidak! Apa maksud anda?” Wakidi
memandang bulu dada pria gede tadi… turun…terus ke bawah… si mbah melihat si
kecil yang sudah membesar dan dalam posisi siap tempur. “Bapak pasti orang baru
ya?” kata pria tadi, ”Menurut praturan, kalau bapak kentut, berarti bapak
memanggil saya,” lanjutnya sambil tersenyum, “yuuuk…..”
Serta merta mbah Wakidi lari masuk
loker, mengemasi barangnya dan kembali ke kantor kelab. “Saya mau mengembalikan kartu anggota dan kun-ci
loker. Uang yang Rp. 5 juta boleh kamu ambil.”
“Lho pak, bapak ‘kan baru dua jam
di sini? Bapak bahkan belum melihat fasilitas lain, diskon di res-toran, minum
di bar, pijat…” kata resepsionis.
“Dengerin ya mbak, usia saya 62
tahun, ‘adik’ saya cuman bisa bangun duakali sebulan, tapi saya bisa kentut
lebih dari 15 kali dalam satu hari…….”
The Gambling Master (Raja Judi)
Mukiran diantar ayahnya ke sekolah.
“Selamat pagi bu,” pak Mukidi
sengaja menemui gurunya, “tolong anak saya ada masalah…”
“Masalah apa pak?” tanya bu
Sukilah.
“Dia suka berjudi…” jawab Mukidi
cemas, “saya khawatir uang sakunya akan dipakai berjudi.”
“Oh jangan kuatir, serahkan urusan
ke saya…..nanti saya bereskan…”
Siang harinya pak Mukidi menerima
telpon dari bu Sukilah: “Saya rasa, Mukiran anak bapak sudah bebas dari masalah
judinya?”
“Wah, terimakasih bu,” Mukidi
gembira, “bagaimana caranya?”
“Saya tadi bertaruh Rp 10 ribu
rupiah, Mukiran bilang ada tahi lalat di bokong saya. Dia lalu saya bawa ke
ruang guru, di sana saya tunjukkan dan ternyata di bokong saya terbukti tidak
ada tahi lalat.”
“Sial!” teriak Mukidi, “dasar
anak bandel…”
“Kenapa pak?”
“Dia bertaruh dengan saya Rp. 100
ribu, dia bilang; sebelum selesai pelajaran dia bisa melihat bokong bu guru…”
Milk Yourself (Susumu)
Mobil yang ditumpangi Mukidi,
Wakijan dan Samingan mogok di tengah persawahan jauh dari sana-sini, tengah
malam pula. Tidak ada orang atau satu
mobilpun yang lewat untuk
dimintai pertolongan. Mereka memutuskan untuk bermalam di situ.
Tiga bersahabat itu kemudian
berjalan mencari tempat penginapan di sekitar itu. Setelah berjalan cukup jauh
mereka akhirnya sampai di sebuah rumah petani pemilik peternakan sapi.
“Selamat malam pak,” sapa
Mukidi,”mobil kami mogok, boleh kami menumpang bermalam?”
“Selamat malam,” jawab orang
tadi, “maaf saya hanya petugas jaga di rumah ini, yang punya rumah sedang
kondangan ke kota, jadi saya tidak bisa memberi ijin…”
“Tolong deh pak, kami bisa tidur dimana saja
koq,” sambung Wakijan yang sudah kepenatan.
“Wah bagaiman ya, paling-paling
saya hanya bisa mngijinkan bapak-bapak tidur di kandang sapi, kalau mau.”
Singkat kata mereka yang sudah
kelelahan luar biasa itu setuju. Mereka lalu diantar menuju kandang sapi dan
memilih tempat masing-masing di atas tumpukan jerami.
“Hoahm… aku gak bisa tidur…” keluh Mukidi,
“lapar…”
“Aku juga gak bisa tidur kalau
lapar gini, makan siang tadi cuman sedikit…” sahut Wakijan.
“Bagaimana kalau kita minum susu
sapi saja?” Samingan tiba-tiba punya ide brilian.
Mereka serempak setuju, lalu
mengendap-endap di dalam kandang yang gelap itu.
“Hmmmm… lezat sekali susu sapiku… “ celetuk
Mukidi, “kenyang aku dibuatnya…”
“Susu segar dari sapiku juga membuatku
kenyang,” sahut Wakijan.
“Susu sapiku, isinya koq cuman
sedikit ya?” kata Samingan, “rasanya juga aneh…”
“Cari puting yang lainnya dong,
puting yang itu mungkin sudah kosong…” kata kedua sahabatnya.
“Tapi puting sapiku cuman satu,”
jawab Samingan masih bingung, “panjang pula ukurannya…”
Homesick
Waktu sarapan pagi sementara
Wakijan mengambil makanan, Mukidi yang juga sudah seminggu menginap di Marriot
tidak mengambil breakfast yang tersedia, malah memanggil pelayan:
“Pelayan!” seorang pelayan menghampiri.
“Tolong buatkan nasi goreng..”
“Tapi pak, nasi goreng ada di
meja buffet?”
“Saya ingin yang beda,” Mukidi
memaksa, “tambahkan garam di nasi gorengnya, terus telurnya diceplok rada
gosong…jangan lupa cabenya banyak-banyak”
“Pesananmu koq aneh Di?” Wakijan
heran.
“Aku rindu masakan istriku…..”
Motherhood
Mukidi terbangun tengah malam.
Dia kaget, di sudut kamarnya ada sinar yang sangat menyilaukan.
“Dimana aku?” dia bertanya
ketakutan.
“Mukidi, kamu sudah mati,” kata
sebuah suara.
“Tapi aku belum mau mati, aku
masih banyak dosa dan mau bertobat,” teman anda ini mulai terdengar memelas.
“Tidak bisa, kamu sudah mati.”
“Tolonglah, aku berjanji akan
menjadi orang baik-baik…”
“Tidak bisa, kecuali kamu mau
reinkarnasi…”
“Reinkarnasi? Memang hari gini
masih ada?”
“Terserah, mau atau tidak?”
“Be…b…baiklah,” Mukidi tidak
punya pilihan.
“Pejamkan matamu!” teman anda
menuruti perintah itu. Ketika matanya dibuka dihadapannya ada beberapa butir
jagung dan dia sedang mematuki jagung itu. Oh rupanya dia berubah menjadi ayam.
“Ah tidak apa-apalah, setidaknya aku belum mati.” pikirnya. Ketika dia sedang
asyik makan jagung itu seekor ayam jago mendekatinya berputar-putar narsis.
“Ganjen!” pikir Mukidi, lalu menyadari bahwa dirinya menjadi ayam betina. “Celaka!”
Ayam jago genit itu tiba-tiba
mematuk tengkuknya lalu menindih tubuhnya. hanya beberapa bentar, hubungan
tidak senonoh itu selesai. Mereka berdua lalu akrab. Beberapa waktu kemudian
Mukidi merasa perutnya mules.
“Ah itu biasa,” kata si ayam jago.
“Mungkin ini masa suburmu. Sebentar lagi kamu bertelur.”
“Bertelur?” Mukidi baru sadar.
Dia berpikir, jadi rupanya begini toh rasanya wanita mengandung, betapa
mulianya menjadi seorang ibu. “Aku sudah tidak tahan,” katanya. Lalu dengan
sekuat tenaga dia mengejan, dan ah akhirnya keluar sudah sebutir telur dari
sumbernya…”legaaa….”
Tiba-tiba …buk…buk….sebuah gagang
sapu mendarat di bokongnya.
“Dasar pemabuk tua,” Markonah
berteriak sambil memukulinya: “Mukidi…Mukidi…. kamu b*r*k di kasur ya?!”
The Mask effect (Efek dari Dandanan)
Menjelang Idul Fitri Markonah
tertarik membeli kosmetik mahal asli Paris bukan beli dari MLM seperti teman-temannya. Kosmetik ajaib yang lebih
mahal dari Bobbi Brown, Stila, dan Mac
menurut salesgirlnya memberi garansi, pemakainya
akan tampil jauh lebih muda dari usianya.
Setelah berjam-jam duduk di depan
meja rias, mengoleskan kosmetik ‘ajaib’ nya, dia bertanya kepada Mukidi, sang
suami:
“Mas, sejujurnya berapa tahun
kira-kira usiaku sekarang?”
Mukidi memandang lekat-lekat
istrinya tercinta.
“Kalau dilihat dari kulitmu,
usiamu 20 tahun; rambutmu, hm…18 tahun….penampilanmu; 25 tahun…”
“Ah mas Mukidi pasti cuman
menggoda,” Markonah tersipu manja.
“Tunggu dulu sayang, saya ambil
kalkulator….. saya jumlahkan dulu ya…..”
Worn Out
Pulang shopping yang melelahkan,
Markonah terkejut bukan main mendapati suaminya ada di tempat tidur bersama
seorang gadis.
Sambil menahan marah dia keluar
membanting pintu….”Pokoknya aku minta cerai!”
Mukidi buru-buru mengejar
istrinya. “Tunggu!” katanya, “dengarkan dulu penjelasanku.” Markonah berhenti
sambil menyeka airmatanya.
“Waktu pulang ke rumah, aku
kasihan melihat anak malang ini. Karena dia bilang kelaparan aku meng-ajaknya
ikut ke rumah. Aku memberinya makanan yang masih tersisa di kulkas.
Tubuhnya kotor, jadi aku suruh
mandi dan kramas pakai Mark & Spencer.
Karena bajunya bau keringat, aku
ambilkan blus Chanel milikmu yang kaubilang sudah bosan. Kemudian kulihat
celana jins Prada punyamu yang kekecilan, kebetulan ukurannya pas. Lalu sepatu
Ferragamo yang kau bilang sudah ketinggalan jaman juga kuberikan.
Kalung Cartier hadiah ulangtahunmu yang kau bilang norak itu juga
dia terima dengan ceria, tidak lupa tas Esprit yang warnanya kau nggak suka….
lalu buat modal ngamen, aku berikan gitar Ibanez yang nggak pernah kamu
mainkan…. ”
“Lantas mengapa dia bisa berada
di atas ranjang kita?” bentak Markonah.
“Sabar mah,” jawab Mukidi berusaha tenang,
“ketika dia sudah mau pergi, dia tiba-tiba berbalik, ‘Pak, ada lagi nggak
barang yang nggak dipakai ibu.’ ……Akibatnya begitulah seperti yang kau lihat
tadi….”
Imagine (Membayangkan)
Tergopoh-gopoh Sarmili dan istrinya
menuju pintu keberangkatan di terminal F bandara soekarno-Hatta.
“Andai saja kita bawa piano, ya
bang?” kata Sarmila di tengah antrean penumpang.
“Apa maksudmu?” Tanya Sarmili
sambil menyeka keringatnya.
“Tiket pesawat kita ketinggalan,
kutaruh di atas piano.”
Excessive
Setiap pagi sebelum bangun tidur,
Mukidi terbiasa kentut keras sekali. Hal ini tentu mengganggu istrinya yang
tidur di sampingnya, apalagi bila bunyi yang mengagetkan itu disertai bau
menyengat yang belum melalui uji emisi, Markonah bisa kewalahan menahan baunya.
“Mas, kalau kentutmu selalu keras seperti itu, hati-hati nanti ususmu ikut keluar loh,” kata Markonah suatu kali.
“Mas, kalau kentutmu selalu keras seperti itu, hati-hati nanti ususmu ikut keluar loh,” kata Markonah suatu kali.
Suatu malam ketika sedang
menyiapkan ayam untuk makan sahur, iseng-iseng Markonah memasukkan usus ayam ke
dalam knalpot suaminya. Diturunkannya celananya pelan-pelan, lalu diselipkannya
usus tidak berdosa itu. Markonah kembali ke dapur seolah tidak terjadi apa-apa.
Benar saja, tidak lama kemudian
ketika bangun sahur terdengar Mukidi kentut keras sekali, lalu tiba-tiba
dilihatnya suaminya terbirit-birit lari ke toilet.
Di dapur, Markonah pura-pura
tidak tahu. Tak lama kemudian suaminya keluar dari toilet dengan wajah pucat.
“Ya ampun Nah, apa yan kamu katakan benar! Tadi waktu kentut ususku ikut keluar, untung bisa kumasukkan lagi.”
“Ya ampun Nah, apa yan kamu katakan benar! Tadi waktu kentut ususku ikut keluar, untung bisa kumasukkan lagi.”
Scandal I
Pada hari perkawinannya, Wakijan
dan isterinya telah sepakat bahwa mereka akan saling terbuka, tidak ada dusta
diantara mereka, kecuali satu. Mas Wakijan tidak boleh membuka kotak kayu yang
disimpan di kolong tempat tidur mereka. Wakijan setuju. Seusai perayaan
ulangtahun perkawinan ke 50 mereka, Wakijan minta ijin untuk membuka isi kotak
misterius tersebut.
Isterinya mengijinkan. Ketika
kotak itu dibuka, nampak dua butir jagung dan amplop berisi uang US$ 150.- ”Apa
ini?” Tanya Wakijan penasaran. Isterinya menarik napas, kemudian menjawab:
”Setiap kali aku berselingkuh, aku memasukkan satu biji jagung ke dalam kotak…”
Wakijan hampir marah, namun
ditahannya. Setelah 50 tahun perkawinan, 2 kali selingkuh tidak ada artinya.
Dia memaafkan isterinya: ”Terus uang $150. ini?”
”Yaaah……. kalau jagungnya sudah
banyak yaaa kujual…….” jawab isterinya.
Scandal II
Mukidi, Wakijan dan Samingan
memperhatikan bahwa pak Suniwan, boss mereka belakangan pulang lebih awal. Kira-kira jam dua setelah
makan siang, beliau amblas meninggalkan kantor dan tidak kembali. Melihat
keadaan ini Wakijan timbul ide dan membuat kesepakatan dengan kedua sahabatnya:
“Kalau begitu, besok kalau boss kita pulang, kita juga nyelonong pulang juga,
setuju nggak?” Mukidi dan Samingan mengangguk. Benar juga. Ketika mereka
melihat boss sudah menenteng tasnya mereka bertiga langsung berkemas-kemas dan
ikut pulang.
Sesampai di rumah, Mukidi yang
ingin memberi kejutan istrinya, berjalan jinjit menuju kamar. Dibukanya pintu
kamar perlahan-lahan tiba-tiba …astaga…betapa kagetnya, Mukidi hampir pingsan.
Dilihatnya pak Suniwan (suka bini bawahan),
sedang tidur dengan istrinya. Ditutupnya kembali pintu kamar
pelan-pelan. Mukidi mengelus dada: “Hampir saja.” Pikirnya.
Besoknya Wakijan dan Samingan
mengajak pulang awal lagi: “Yuk pulang dari kantor kita mancing?” Mukidi
mengeleng; ”Aku nggak mau ikut-ikutan
pulang cepat ah… kemarin aku hampir saja ketangkep……”
Sting (Sengatan)
Mukidi disengat lebah. Karena
kesakitan dia berlari ke kamar praktek
dokter.
“Tolong dok, saya disengat
lebah.”
“Tenang pak, nanti saya olesi
krim…”
“Nggak mungkin dok, lebah itu
pasti sudah terbang jauh dari sini…”
“Bukan… bukan… anda pasti tidak
mengerti,” pak dokter menahan sabar, “saya akan olesi tempat anda disengat..”
“Oh.. iya dok di bawah pohon,
waktu saya beristirahat disana…”
“Bukan… bukan ..itu, bagian tubuh
anda yang disengat…”
“Jari saya… oh… jari saya…lebah
itu menyengat jari saya….”
“Yang mana?” pak dokter mulai
dongkol.
“Mana saya tahu? Semua lebah kan
sama saja…”
Baca cerita sambungannya.......Seribu Cerita Tentang Mukidi Bagian 3
Baca cerita sambungannya.......Seribu Cerita Tentang Mukidi Bagian 3
0 Response to "Seribu Cerita Tentang Mukidi Bagian 2"
Posting Komentar