Seribu Cerita Tentang Mukidi Bagian Ketiga
Brave (Berani)
Sebelum mudik, Mukidi bersama
istrinya tergopoh-gopoh mampir ke dokter gigi.
“Maaf pak, saya tidak praktek.” jawab
Drg, Geraham.
“Dok, ini darurat,” kata Mukidi
serius. “Bisa nggak dokter cabut gigi sebentar?”
“Wah saya harus sterilkan alat-alat dulu pak,
belum lagi anestesi….”
“Gak perlu bius dok, gak perlu
anestesi atau sterilisasi, langsung cabut aja…” Mukidi memaksa.
“Wah bapak berani sekali, ayo pak
kalau bapak memaksa.”
“Ayo sayang,” kata Mukidi kepada
istrinya, “buka mulutmu….”
Therapist (Ahli Terapi)
Di dalam pesawat, Mukidi yang mendapat tempat dekat jendela,
berdampingan dengan sepasang kekasih yang terlihat mesra.
Ketika pesawat baru saja lepas
landas, si gadis kelihatan kurang sehat. “Kenapa sayang?”
“Kepalaku sakit,” jawab si gadis
sambil menyender manja.
“Kalau begini bagaimana?” Si pria
mencium belakang kepalanya mesra, ”sudah lebih baik?” si gadis mengangguk.
“Ada bagian lain yang sakit lagi
sayang?”
“Disini…” kata si gadis sambil
menunjuk ke bibirnya. Dilumatnya bibir si gadis. “Sudah baikan?” si gadis
mengangguk. lalu dia menunjuk lehernya. Lagi si pria menciumi
leher kekasihnya mesra.
“Bagaimana sayang?”
“Sudah lebih nyaman…” si gadis
melenguh manja.
Mukidi yang dari tadi gregetan
melihat kelakuan dua sejoli yang tidak tahu adat ini mencolek si pria: “Mas,
bisa ngobatin ambeien nggak? Wasir saya kambuh…”
Watch Out (Perhatikan)
Prof. Agus Colok mulai kuliahnya
berbicara kepada para mahasiswa:
“Dalam dunia kedokteran, penting
sekali seorang dokter yang berkualitas memperhatikan dua hal.
Hal pertama, anda tidak boleh
merasa jijik terhadap sesuatu yang melibatkan tubuh manusia.” Pak pro-fesor
menyingkapkan kain penutup mayat (kadaver), mencolokkan jarinya ke dalam dubur
mayat itu, menarik jarinya dan memasukkannya ke dalam mulut.
“Silakan, lakukan hal yang sama.” Katanya
kepada para mahasiswa. Mulanya mereka bergidik, ogah-ogahan sampai beberapa menit,
namun akhirnya Ronald dan teman-temannya satu persatu memasukkan jarinya ke anus tubuh tak bernyawa
tadi dan menjilatnya. colok-jilat,… colok-jilat… begitu seterusnya.Setelah
acara lok-jil (colok-jilat) selesai, prof. Agus memandang mahasiswanya: “Sekarang
perhatikan,” katanya, “hal penting kedua yang harus kalian perhatikan adalah
ketelitian! Saya memasukkan jari tengah ke dalam anus, lalu memasukkan jari
telunjuk ke dalam mulut. Belajarlah memperhatikan dengan baik!”
Golf Ball (Bola Golf)
Mukidi masuk ke barbershop dan
ketika giliran pak Cukri si tukang cukur mengerik jenggot dan kumis nya, dia
merasa kurang nyaman. “Saya ada ide…” kata si tukang cukur,”masukkan bola golf
ini ke mulut anda letakkan ke arah pipi yang mau dikerik supaya mudah.” Mukidi
menuruti nasehatnya.
Pengerikan hari itu menjadi hal
yang paling nyaman bagi Mukidi. “Bagaimana kalau tertelan?” Mukidi bergumam.
“No problem.” Jawab pak Cukri, “kembalikan saja besok, seperti yang
sudah-sudah…..”
Golf Club (Kelab Golf)
Dua orang wanita sedang belajar
main golf di Sentul . Salah seorang berhasi memukul tee-off keras sekali, bola
melambung dan….”Aduhhhh!!!!” ternyata Mukidi yang juga sedang bermain tidak
jauh di lapangan yang sama tiba-tiba merasakan sebutir bola golf mengenainya.
Teman anda mengaduh sambil terguling-guling menahan sakit dengan meletakkan dua
telapak tangannya di antara paha.Si mbak yang merasa bersalah berlari menuju ke
tempat Mukidi jatuh. “Aduh maaf ya pak, nggak sengaja.” Kata si mbak memohon.
“perlu saya bantu? Saya bekerja sebagai ahli fisioterapi di Rehab Medik lho
pak.” Kata temannya…..
“Terimakasih mbak, gak papa koq… ‘ntar juga
baik…” jawab Mukidi masih meringis menahan sakit, sementara tangannya masih di
sela pahanya. Merasa kasihan melihat kawan anda
yang kesakitan ini, si mbak yang bekerja di URM ini mengambil inisiatif
dengan membuka ritsleting celana mas Mukidi kemudian mengurut ‘club’’ nya.
“Bagaimana pak, sudah lebih
baik?” tanya si mbak setelah beberapa menit melakukan fisioterapi.
“Ya… ya… ya… enak mbak… tapi yang
sakit jempol saya mbak….”
Responsibility (Tanggung Jawab)
Abu Wakidi dan Abu Wakijan
dihadapkan ke meja hijau. Keduanya dituduh melarikan anak gadis, bedanya; Abu
Wakidi membawa lari anak orang, sedangkan Abu Wakijan membawa lari anak kambing.
Hakim menjatuhi abu Wakidi hukuman 3 bulan kurungan, sedangkan Abu Wakijan
diganjar 3 tahun. “Ini tidak adil!” seru Abu Wakijan protes, “yang mulia, saya
keberatan mengapa Abu Wakidi yang melarikan anak orang hanya dihukum 3 bulan,
sementara saya yang membawa lari anak kambing malah dihukum 3 tahun….” “Saudara
terdakwa,” kata pak hakim bijaksana. “ketahuilah bahwa Abu Wakidi
bertanggungjawab mengawani gadis yang dibawanya lari, kalau saudara mau
bertanggungjawab mengawini tentu hukumannya tentu akan saya ringankan.
Bagaimana?”
The War Is Over (Perang Telah
Usai)
Seusai pengajian, mbah
Kartomlongo sengaja pulang belakangan karena ingin bicara empat mata dengan
ustad.
“Apa yang bisa saya bantu mbah?
“Ustad,” si mbah mulai bicara,
“waktu ada pemberontakan PKI tahun 1965, seorang wanita cantik yang dituduh
sebagai anggota Gerwani mengetuk pintu rumah saya dan meminta saya
menyembunyikannya dari tentara. Karena kasihan, saya menyembunyikannya di
loteng. Singkat kata, tentara tidak pernah menemukan gadis itu.”
“Luar biasa,tindakan mbah sungguh
mulia,” pak ustad kagum.
“Keadaan memburuk ustad, “ mbah
Karto melanjutkan,”saya ini hanya mahluk yang lemah. Saya katakan kepadanya
bahwa dia harus membayar karena saya sudah menyembunyikannya. Saya minta
imbalan kenikmatan biologis dari gadis itu.”
Sang ustad merenungkan
pengungkapan itu lalu menjawab; “Yah, waktu itu memang merupakan masa sulit ya,
penuh risiko. Betapa berbahayanya kalau mbah tertangkap dan dituduh antek PKI,
gara-gara menyembunyikan gadis itu. Saya tahu Tuhan Mahabijaksana dan penuh
ampunan, ada keseimbangan antara baik dan buruk atas tindakan anda, biar Dia
yang mengadili.”
“Terimakasih ustad,” si mbah
gembira, “anda memang bijaksana sekali. Boleh saya mengajukan satu pertanyaan
lagi?”
“Tentu saja.”
“Perlu nggak saya beritahu
gadis itu bahwa perang melawan PKI sudah
usai?”
Puting Sapi
Mobil yang ditumpangi Mukidi,
Wakijan dan Samingan mogok di tengah persawahan jauh dari sana-sini, tengah
malam pula. Tidak ada orang atau satu
mobilpun yang lewat untuk dimintai
pertolongan. Mereka memutuskan untuk bermalam di situ.
Tiga bersahabat itu kemudian
berjalan mencari tempat penginapan di sekitar itu. Setelah berjalan cukup jauh
mereka akhirnya sampai di sebuah rumah petani pemilik peternakan sapi.
“Selamat malam pak,” sapa
Mukidi,”mobil kami mogok, boleh kami menumpang bermalam?”
“Selamat malam,” jawab orang
tadi, “maaf saya hanya petugas jaga di rumah ini, yang punya rumah sedang
kondangan ke kota, jadi saya tidak bisa memberi ijin…”
“Tolong deh pak, kami bisa tidur dimana saja
koq,” sambung Wakijan yang sudah kepenatan.
“Wah bagaiman ya, paling-paling
saya hanya bisa mngijinkan bapak-bapak tidur di kandang sapi, kalau mau.”
Singkat kata mereka yang sudah
kelelahan luar biasa itu setuju. Mereka lalu diantar menuju kandang sapi dan
memilih tempat masing-masing di atas tumpukan jerami.
“Hoahm… aku gak bisa tidur…” keluh Mukidi,
“lapar…”
“Aku juga gak bisa tidur kalau
lapar gini, makan siang tadi cuman sedikit…” sahut Wakijan.
“Bagaimana kalau kita minum susu
sapi saja?” Samingan tiba-tiba punya ide brilian.
Mereka serempak setuju, lalu
mengendap-endap di dalam kandang yang gelap itu.
“Hmmmm… lezat sekali susu sapiku… “ celetuk
Mukidi, “kenyang aku dibuatnya…”
“Susu segar dari sapiku juga
membuatku kenyang,” sahut Wakijan.
“Susu sapiku, isinya koq cuman
sedikit ya?” kata Samingan, “rasanya juga aneh…”
“Cari puting yang lainnya dong,
puting yang itu mungkin sudah kosong…” kata kedua sahabatnya.
“Tapi puting sapiku cuman satu,”
jawab Samingan masih bingung, “panjang pula ukurannya…
Baca Kisah perjalanan Mukidi Akhirnya Mukidi Meninggal Dunia
Baca Kisah perjalanan Mukidi Akhirnya Mukidi Meninggal Dunia
0 Response to "Seribu Cerita Tentang Mukidi Bagian Ketiga"
Posting Komentar