Seribu Cerita Tentang Mukidi
Mealstone
Seorang pria sok akrab tiba-tiba
mendekati Mukidi sambil mengulurkan tangan.
“Loh, kamu kan… aduuuuh sudah
berapa tahun gak ketemu ya?”
“Mukidi.” Mukidi menjawab lalu
menerima uluran tangan pria misterius tadi sambil berpikir keras.
“Ya… ya Mukidi… aduuuh masa lupa
sih? Sungib… Sungib teman SMP, masih ingat Tasripin, Kamid, Wartam….”
Mukidi masih bingung tapi asal
mengangguk gak apalah pikirnya, sambil mengingat-ingat nama-nama aneh itu.
“Wah, sudah hampir Maghrib nih,
kita buka bersama yuk?” ajak teman barunya itu.
“Aku… eh sebetulnya mau buru-buru
pulang..” Mukidi pura-pura menolak…
“Ayolah sekalian bernostalgia.”
Mukidi yang lagi bokek ikut aja ke warung Padang, lagi pula sejak kasus daging
sapi impor dia sudah tidak pernah makan dendeng balado.
Setelah adzan berkumandang,
mereka menikmati takjil gratis lalu apa saja yang di dekatnya diembat, Mukidi
tidak lupa pesan jus duren. Dia sudah lupa menanyakan jati diri temannya tadi.
“Ayo Di, sikat saja…” Sungib juga
tak kalah beringas mengambil lauk di hadapannya. Beberapa saat kemudian dia
berhenti. "Eh, ngomong-ngomong aku ke musala dulu ya, nanti gantian. Kamu
terusin makan aja, habiskan jusmu.” Mukidi mengangguk.
Sungib yang rupanya ahli ibadah
itu rupanya lama juga di musala. Sudah lebih 30 menit. Mukidi sudah khawatir
kehabisan waktu Maghrib.
“Uda,” dia memanggil pelayan,
“musalanya di sebelah mana?”
“Wah, gak ada mushola pak, adanya
masjid 50m dari sini…”
“Teman saya tadi mana?”
“Teman yang mana pak?”
Ain't No Kermit
“Mas tadi waktu bukber pada
cekikikan ngomongin kodok apaan sih?” tanya Markonah.
“Dulu sekali, aku, Wakijan,
Samingan sowan ke mbah Joyongablak nanyain masalah jodoh,” jawab Mukidi
“Waktu kami pulang, mbah Joyo
berpesan: ‘Ati-ati jangan sampai nginjek kodok.’ Celakanya walaupun sudah
berhati-hati, Wakijan nginjek kodok. Gak lama, Samingan juga nginjek kodok.
Cuma aku yang selamat sampai rumah tanpa nginjek kodok.”
“Memang kalau nginjek kodok
kenapa?”
“Yah tadinya mereka berdua cemas,
tapi lama-lama kata-kata mbah Joyo dianggap cuma takhayul. Eh, 5 tahun kemudian
setelah mereka kawin bininya jelek-jelek, bawel. Rupanya gara-gara nginjek
kodok, kata-kata simbah terbukti. Kamu percaya gak, Nah?”
“Percaya sih, Mas. Aku dulu juga
nginjek kodok….”
No Mercy
Mukidi melihat mbah Kartinem
sedang kebingungan di kantor pos.
“Bisa saya bantu, Nek?”
“Tolong pasangin perangko sama
tulis alamatnya, Nak.”
“Ada lagi, Nek?”
“Bisa bantuin tulis isi suratnya
sekalian?” Mukidi mengangguk. Si mbah lalu mendiktekan surat sampai selesai.
“Cukup, Nek?”
“Satu lagi, Nak. Tolong di bawah
ditulis: maaf tulisan nenek jelek.”
When The Cookie Jar is Empty
Markonah berbelanja untuk bikin
kue lebaran.
“Mbak ada tepung terigu?”
“Gak ada, Bu.”
Markonah keluar. Lima menit balik
lagi.
“Gula pasir ada, Mbak?”
“Gak ada, Bu.”
Markonah keluar lagi, tidak lama
kemudian kembali lagi.
“Kalau telur gak ada juga?”
“Iya Bu, gak ada.”
“Koq aneh sih, tepung gak ada,
gulapasir gak ada, telur gak ada?”
“Ibu salah masuk, Bu. Ini
apotek….”
Quit
“Hebat. Pak Mukidi sudah berhenti
merokok, ya?”
“Betul. Teman saya mati karena
rokok.”
“Dia kena kanker?”
“Bukan, Dok. Motornya ditabrak
mobil box Gudang Garam.”
When The Cookie Jar is Empty 2
Markonah belanja untuk bikin kue lebaran.
“Mas ada terigu?”
“Gak ada, Bu”
“Telur?”
“Kosong, Bu?”
“Gula pasir?”
“Habis.”
“Terigu gak ada, telor kosong, gula pasir habis. Kenapa gak ditutup saja tokonya?”
“Kuncinya gak ada, Bu.”
The Reason
"Saya bersyukur Pak Mukidi
akhirnya berhenti merokok.”
“Yah, itu berkat istri saya. Istri
saya masuk rumah sakit gara-gara rokok…”
“Wah, Anda benar-benar sayang
istri…”
“Bukan! Istri saya bolak-balik
menyuruh saya berhenti merokok. Lama-lama saya kesal, asbak saya lempar, kena
mukanya, saya terkena pasal KDRT, masuk penjara 3 bulan….
Fair
Selesai berbuka puasa di warung
Padang, Mukidi menghampiri pemiliknya.
“Uda, pernah dengar gak hadis
yang mengatakan bahwa memberi makan orang yang berpuasa pahalanya sama dengan
pahala orang yang berpuasa?”
“Ya, saya sering dengar. Tanpa
mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun,” jawab uda Asman (Asli
Pariaman).
“Syukurlah, Uda rupanya sering
ngaji ya?”
“Memangnya kenapa?”
“Dompet saya ketinggalan……”
“Anjingku setiap pagi mengantarkan koran sebelum aku bangun pagi,”kata Mukidi.
“Wah, pasti sulit tuh melatihnya.” Wakijan kagum.
“Memang sih, apalagi gw kan ‘gak langganan koran…”
Poison
Mukidi menemui Wakijan: “Celaka
Jan. Markonah hampir membunuhku.”
“Kenapa? Kamu diracun?”
“Bukan. Dia masak kolak biji
salak”biji salak
“Istriku juga suka bikin biji
salak.” Wakijan heran, “Apa masalahnya?”
“Iya tapi istrku pakai biji salak
beneran!”
SMART II
“Anjingku cerdas sekali,” kata
Mukidi, “setiap hari dia mengambilkan koran tetanggaku.”
“Aku sudah tahu,” jawab Wakijan.
“Tahu darimana?” Mukidi
penasaran.
“Anjingku yang memberitahu.”
Safety
Siang hari Mukidi masuk ke
warteg.
“Assalamualaikum…” Tidak ada
sahutan, “mana yang punya warung nih?”
Mas Asrawi si pemilik warung
tergopoh-gopoh menemui pelanggannya, “Ya, Pak?”
“Mas, ini kan bulan Ramadan, koq
gak tutup?”
“Lha, kalau tutup kan kami gak
makan pak? Bagaimana karyawan saya?” jawab Asrawi (Asli orang Slawi).
“Yah, tapi hormati dong orang
yang lagi puasa. Ditutup layar kek, biar gak kelihatan dari luar.” Asrawi
buru-buru mengambil spanduk bekas kampanye parpol untuk menutupi warungnya.
“Nah begitu kan lebih baik, jadi
orang yang sedang makan tidak kelihatan dari luar,” sahut Mukidi sambil duduk,
“nah sekarang saya minta sayur, pakai ikan tongkol, nasinya separo saja….”
No Bike
Markonah membawa anjing
kesayangannya ke dokter hewan.
“Kelihatannya dia budek dok,
kalau dipanggil diam saja.”
Dokter meletakkan anjing itu di meja
periksa.
“Wah kelihatannya telinga anjing
kesayangan ibu tumbuh bulu lebat di telinganya,” kata pak dokter. “Bagaimana
kalau ibu memberikan “Nair” hair remover, kemudian mengoleskan ke kedua telinganya setiap 3 bulan, biar bulunya
rontok.”
Dalam perjalanan pulang, Markonah mampir ke
apotik.
“Ada ‘Nair’ hair remover mbak?”
Si mbak masuk sebentar kemudian
mengulurkan produk yang diminta.
“Kalau ibu menggunakannya di
ketiak, ibu tidak boleh menggunakan deodorant selama beberapa hari.” Si mbak menjelaskan.
“Oh saya tidak menggunakannya
untuk bulu ketiak koq…” sahut Markonah cepat.
“Kalau ibu menggunakan untuk
kaki, jangan bercukur selama beberapa hari.”
“Enak aja,” Markonah mulai kesal,
“saya juga tidak menggunakannya untuk bulu kaki saya. Saya mau menggunakan
untuk bu….”
“Saya tahu,” sahut si mbak sok
tau, “kalau begitu ibu sementara jangan naik sepeda….”
Wheelchair
Mukidi masuk ke bar. Belum sampai
di meja bar, dia melihat seorang bapak tua terduduk di lantai, tanpa suara.
Mukidi menolongnya berdiri. Tidak berhasil. Pak tua itu seolah-olah tanpa
tulang. Dicobanya sekali lagi, lagi-lagi pak tua tadi menggelosor ke lantai.
“Wah mabok berat rupanya.” Pikirnya. Diapun
mulai memesan minum. Setelah selesai minum, dia menghampiri pak tua malang
tadi. Dikeluarkannya dompetnya, kemudian dicari KTPnya, lantas Mukidi yang baik
ini mengantar pulang ke rumahnya. Di depan pintu rumahnya dia berusaha
menegakkan pak tua tadi, tetapi ya itu tadi nggelosor lagi, nggelosor lagi…..
Beruntung setelah menekan bel,
seorang wanita yang mungkin isterinya membukakan pintu. “Apakah betul ini rumah
pak Tarbok?” tanya Mukidi. Wanita itu mengangguk.
“Syukurlah.” kata wanita tadi
”Anda baik sekali sudah menolong suami saya pulang ke rumah. Tapi
ngomong-ngomong, mana kursi rodanya?”
No Mercy
Mukidi melihat mbah Kartinem
sedang kebingungan di kantor pos.
“Bisa saya bantu nek?”
“Tolong pasangin perangko sama
tulis alamatnya nak.”
“Ada lagi nek?”
“Bisa bantuin tulis isi suratnya
sekalian?” Mukidi mengangguk. Si mbah lalu mendiktekan surat sampai selesai.
“Cukup nek?”.
“Satu lagi nak. Tolong di bawah
ditulis: maaf tulisan nenek jelek.”
0 Response to "Seribu Cerita Tentang Mukidi"
Posting Komentar