Bencana Matematika - Berbagi Ilmu

Berbagi Ilmu

Bencana Matematika

Lain Serti lain pula Tufung. Jika serti mewakili tipe anak yang rajin, pandai, dan taat terhadap aturan, maka Tufung adalah prototipe anak yang cerdas, kritis, dan cenderung anomali. Keduanya memberikan warna tersendiri bagi Madrasah Ibtidaiyah Al-Islamiyah tempat mereka menuntut ilmu.

Tufung dan Serti adalah bukti kemahaadilan Allah SWT yang terkadang luput dari perhatiaan dan pengamatan kita. Allah SWT menganugerahkan kepada setiap makhluk-Nya kecerdasan yang unik yang satu dengan yang lainnya berbeda. Justeru kita sendiri yang memperlakukan mereka tidak adil. Kita sering mencap “bodoh” anak yang tidak pandai dalam berhitung. Atau kita sering memarahi anak yang pekerjaannya hanya mencorat-coret benda didekatnya. Di lain kesempatan kita akan membentak anak yang sering memukul-mukul meja. Sudahkah kita adil kepada mereka dengan memfasilitasi mereka untuk mengembangkan kecerdasan mereka masing masing?

Karena sifatnya yang cerdas, kritis dan anomali, Tufung sering merepotkan banyak orang. Tufung akan mempertanyakan apapun yang belum ia pahami.
Jika kebanyakan anak seusianya cukup puas dengan pertanyaan “apa”, tidak demikian dengan Tufung. Pertanyaan level pertama pada Taksonomi Bloom itu hanya sebatas pembuka untuk pertanyaan-pertanyaan lainnya yang levelnya lebih tinggi. Tak jarang pertanyaan analisis dan evaluasi bahkan level menghasilkan produk sering ia ajukan.

Salah satu dampak dari sifatnya itu adalah munculnya penomena “Bencana Matematika”. Bencana ini bermula dari pertanyaan tentang angka saat bu Halimah mengajarkan lambang bilangan.

“Ibu, bolehkah saya bertanya?” Tufung membuka pertanyaan di sela-sela pembelajaran.
“Silahkan sayang, kamu mau tanya apa?” Bu halimah menanggapi.
“Ibu, mengapa angka satu lambangnya 1, angka dua lambangnya 2, dan seterusnya?” Tanya Tufung sambil menunjuk deretan angka yang tertulis di papan tulis.
Ibu Halimah tersentak kaget. Belum pernah selama 10 tahun ia mengajar ada anak seusianya mempertanyakan masalah ini. Bu Halimah menarik napas dalam, ia mencoba menguasai keadaan.
“ itu sudah dari sanahnya, sayang”
“Dari sananya itu darimana bu guru?’ tatapannya tajam menatap bu Halimah. Terlihat wajahnya tidak puas dengan jawaban gurunya.
Bu Halimah terkejut. Ia tidak menyangka Tufung akan balik bertanya dengan pertanyaan itu.
“Begini anak-anak” Bu Halimah membuka penjelasannya sambil melayangkan pandangannya ke seluruh siswa di dalam kelas.
“angka-angka ini penyebutan lambang bilangannya sudah disepakati oleh para ahli matematika di seluruh dunia. Jadi nama-nama bilangan ini sebenarnya adalah hasil kesepakatan”.
“oooooh, begitu ya bu” serempak seisi kelas merespon penjelasan bu Halimah.
“bu guru, kalau misalnya angka 9 disebut satu kemudian angka 8 disebut dua dan seterusnya boleh tidak?” Tufung melanjutkan pertanyaan “aneh”nya.
“boleh sayang, tapi harus disepakati dulu oleh seluruh dunia” bu Halimah memberikan penjelasan.

Tufung mangut-manggut. Bukan Tufung kalau cukup dengan pertanyaan itu. Ia lemparkan pertanyaan lain yang luar biasa.
“Ibu!” Tufung mengangkat tangannya.
“ada apa lagi, sayang?”
“Boleh tidak saya membuat kesepakatan dengan ibu dan teman-teman?”
“Boleh, kamu mau buat kesepakatan apa dengan ibu dan teman-teman kamu?”
“Begini bu, saya ingin ibu dan yang lainnya menyepakati kalau penyebutan angka-angka itu dibalik urutannya bu”
“Maksudnya apa?” Ibu halimah tidak mengerti
“angka 1 untuk sembilan, angka 2 untuk delapan, angka 3 untuk tujuh dan seterusnya. Bagaimana bu?”
“tidak bisa sayang, kasian teman-teman kamu yang lain nanti akan kebingungan” Sanggah bu Halimah.
“kalau yang lain tidak mau tidak apa-apa bu, ini khusus untuk saya”
Bu Halimah terdiam sejenak. Ia sadar jika ditolak keinginan anak ini, ia tetap akan memaksa dirinya untuk menyepakati kesepakatan “terlarang” ini.
“Baiklah, tapi kamu sudah memikirkan dampaknya nanti? Kamu nanti akan susah sendiri?” bu Halimah mengingatkan.
nggak apa apa bu, saya akan coba dulu”.

Sejak kesepakatan itu, bukannya Tufung yang susah justeru orang lain yang dibuat susah terlebih bu Halimah wali kelasnya. Sebagai contoh, saat ulangan harian Bahasa Indonesia Tufung diberi nilai dengan angka 9. Karena sembilan soal dijawab benar dan satu soal tidak diisi, Tufung akan datang menemui bu Halimah memprotes keputusannya.
“ Ibu guru tidak adil, mengapa saya diberi nilai satu bu, padahal jawaban benar saya ada sembilan”
Terpaksa bu Halimah harus merubah angkanya dari 9 menjadi 1.

Pada kesempatan lain, seluruh guru harus merasakan pedasnya sambal buatan Tufung saat lomba kreasi sambal. Tertulis di dalam catatan resep yang dibagikan, cabai rawit yang harus ditambahkan adalah 1 buah, maka bagi Tufung itu berarti sembilan buah yang harus ditambahkan.

Atau suatu hari sekolah mendapatkan kiriman delapan galon air mineral karena Tufung yang disuruh membeli galon ke toko terdekat. Padahal tertulis dalam kertas 2 galon saja.

<<<Cerita Sebelumnya                                                Cerita Selanjutnya>>>                                  



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bencana Matematika"

Posting Komentar