Bulan Menangis
Bagiku bisa berteman
dengan dua anak hebat Serti dan Tufung adalah sebuah anugerah. Keduanya kelak
akan memberikan pelajaran hidup yang luar biasa. Serti memberikan pelajaran
padaku bagaimana menghormati ilmu dan orang yang berilmu, sementara Tufung
menularkan virus haus ilmu, mutiara kejujuran dan samudera berfikir. Takdir
telah membawaku bertemu guru-guru kecil istimewa. Pasalnya hampir saja aku
gagal bertemu dengan kedua anak ini lantaran harus menunda keinginanku untuk
sekolah tahun ini. Untuk cerita yang ini, aku akan menceritakan cerita
lengkapnya pada kalian nanti.
Namaku Komar,
Komaruddin lengkapnya. Bagiku nama yang diberikan orang tuaku adalah doa.
Setidaknya itu aku sadari setelah aku mengaji di mushalla K.H Murtadho. Waktu
itu aku diminta memperkenalkan diri kepada santri lain yang sudah lebih dulu
mengaji di sana. Maklum santri mama Haji, begitu kami memanggil beliau, tidak
hanya datang dari kampung kami tapi juga dari berbagai kampung di desa kami bahkan
ada yang datang dari desa lain.
Setelah aku
memperkenalkan diri, mama Haji sekilas menerangkan asal muasal namaku.
“Komaruddin, nama
yang bagus. Qomar itu artinya bulan dalam bahasa arab. Sementara diin
artinya agama. Jadi kalau digabung artinya Bulannya Agama”. Terang beliau.
Sejak itu, aku sangat
bangga dengan namaku. Setiap buku tulis yang aku punya tidak luput dari bubuhan
namaku. Saking bangganya dengan arti namaku, sengaja aku tulis namaku dalam
tulisan arab berseni kaligrafi dengan khat tsuluts yang tak karuan. Tidak lupa
aku sandingkan disamping namaku gambar bulan bersinar untuk menambah kesan
bercahaya.
Kebanggaanku semakin
menjadi saat kata bulan -walaupun namaku Komar, bagiku tak masalah yang penting
apapun yang berhubungan dengan namaku termasuk itu artinya aku senang- sering menjadi pembicaraan orang. Aku akan
sangat senang jika guruku atau tetanggaku yang bekerja sebagai buruh lepas di
pabrik boled (sunda=ubi jalar) berbunga-bunga saat awal bulan karena
akan menerima gaji atau upah. Atau aku akan ikut bahagia saat seorang suami
berjingkrak-jingkrak kegirangan karena mendengar kabar isterinya telat datang
bulan. Bagiku memberikan kebahagiaan kepada orang lain melalui namaku yang
artinya bulan adalah kebahagiaan sekaligus kebanggaan.
Jika aku bangga
dengan nama pemberian orang tuaku, begitupun orang tuaku mereka bangga dengan
kehadiranku. Kelahiranku merupakan salah satu anugerah terbesar yang Allah
karuniakan kepada keduanya. Bukan saja karena jenis kelaminku laki-laki yang
bagi kebanyakan pasangan hidup merupakan sebuah kebanggaan walaupun kadang pada
akhirnya justeru banyak membuat mereka kecewa, tapi juga karena aku adalah anak
pertama mereka yang bisa bertahan hidup. Aku beritahu kalian bahwa kedua kakak
perempuanku meninggal dunia saat usia mereka masih balita. Kemiskinan penyebab
utama keduanya meninggal. Setidaknya itulah kesimpulan yang aku tangkap dari
cerita ibuku tempo hari saat menceritakan kisah pilu dirinya kehilangan
anak-anaknya.
Kakak pertamaku
meninggal saat usianya belum genap satu tahun. Sementara kakak keduaku
meninggal beberapa hari setelah dilahirkan secara prematur.
Entah mitos dari
mana, masyarakat di kampung kami percaya bahwa jika ada orang tua yang anaknya
meninggal berturut-turut agar anak selanjutnya tidak meninggal dunia maka saat
kelahiran anak selanjutnya bayi yang baru lahir harus disimpan di dalam ayakan
(alat untuk menangkap ikan atau memisahkan benda besar dan kecil, terbuat
dari bambu berbentuk bulat setengah bola) dan diakui sebagai anak orang lain. Hal
itu berlaku juga bagiku. Maka Anda bisa menerka. Saat aku dilahirkan sesaat
setelah bapakku mengumandangkan adzan dan iqamah di sebelah kanan dan kiri
telingaku maka tubuh mungil penuh darah yang harusnya berada dipelukan ibuku
harus tergolek kedinginan tanpa sehelai benang di atas ayakan. Setelah ritual
itu akupun diakui sebagai anaknya mak Iyoh tetangga rumahku, entah
bagaimana nasab keturunanku dengannya.
“kakakmu itu cantik,
putih, lucu” ibuku mengenang kakak pertamaku. Aku lihat tubuh ibuku bergetar menahan
kesedihan. Matanya memandang lurus kedepan seakan berusaha mengingat kembali
peristiwa teramat menyedihkan delapan tahun yang lalu.
“Ibu ingat hari-hari
terakhir bersama kakakmu, Mar” Ibu melanjutkan ceritanya. Wajahnya sendu dan
matanya nanar.
“waktu itu ibu
bersama bapakmu berkunjung ke rumah kakek. Kami menginap di sana”. Tarikan
napas panjang menyela cerita ibu.
“mungkin karena
kecapekan, malam itu ibu dan bapakmu tertidur lelap” tatapanku tajam melihat
wajah ibuku. Aku tak sabar menantikan kelanjutan cerita ibu. Tubuh ibuku
bergetar hebat, sejurus kemudian tembok kokoh yang menahan luapan air matanya
ambruk. Banjir air mata tak bisa dielakan lagi. Ibu menghentikan sejenak
ceritanya. Aku paham mengungkap kembali kenangan menyakitkan bukanlah perkara
mudah. Butuh energi berlipat untuk membuka kembali tabir tersebut.
“saat ibu dan bapakmu
sedang tertidur, listrik di rumah kakek mu padam. Ibu baru menyadarinya saat
ibu terbangun. Ibu kaget, ibu benar-benar kaget. Ibu bangunkan bapakmu lalu ibu
raih tubuh kakakmu dan ibu peluk erat-erat”. Wajah ibuku penuh penyesalan.
Deraian air mata terus mengalir membasahi pipinya.
“untuk beberapa saat
kakakmu hanya terdiam. Tapi, sesaat kemudian kakakmu menangis tak henti-henti.
Suhu tubuhnya terus meningkat. Sehari setelah kejadian itu kakakmu meninggal”
isakan ibu semakin menjadi. Tak terasa air mataku ikut meleleh juga. Aku bisa
merasakan kepedihan seorang ibu yang ditinggalkan anaknya secara tiba-tiba.
“ibu menyesal mengapa
waktu itu ibu tidak membawa kakakmu ke dokter”. Ibu menunduk. Terlihat jelas
gurat penyesalan memancar dari wajahnya. Aku mengerti, aku sangat mengerti
keadaan orang tuaku saat itu. Kemiskinan yang menahan keinginn mereka untuk
pergi ke dokter.
Bagi kami orang-orang
miskin bukan perkara mudah untuk sekedar memeriksakan diri pergi ke dokter.
Dapur kami harus puasa mengepulkan asap dua sampai tiga hari untuk sekali pergi
ke dokter. Dokter bagi kami adalah kata mewah milik segelintir orang. Ya,
orang-orang berdompet tebal dan pegawai pemerintah pasien langganan mereka.
Dokter kami adalah
tukang warung yang berlagak seperti Dokter sungguhan. Mereka menawarkan obat
murah dengan khasiat yang sama. Tidak ada stetoskop, alat medis akustik untuk
memeriksa suara dalam tubuh yang biasa tergantung manis di leher seorang dokter.
Tidak ada Sfigmomanometer alat yang selalu digunakan oleh dokter untuk mengukur
tekanan darah. Tidak ada ritual periksa mata, pegang perut atau periksa lidah.
Cukup engkau sebutkan keluhan sakit yang dirasakan, maka dokter “gadungan” ini
bisa mendiagnosa berbagai macam penyakit sekaligus resep obat yang “tepat”
untuk kantong kami tentunya. Cukup 100 rupiah untuk obat segala jenis penyakit.
Parangmex untuk keluhan sakit kepala ringan maupun berat. Termosrex untuk
keluhan demam dan panas. Sanahflu untuk mengusir flu dan pilek. Kosmix untuk
batuk kering dan berdahak.
Bagi kami obat-obat
ini teman setia kami sekaligus penolong saat kami sakit. Ajaibnya 99% konsumen
obat-obatan ini sembuh total cukup dengan mengonsumsi 1-2 tablet/sachet. Entah
karena memang obat ini manjur atau hanya sugesti kami saja. 1% lainnya
benar-benar merasakan tuah magis obat murah ini. Mereka selamanya tidak akan
merasakan sakit lagi. Rasa sakitnya hilang selamanya seiring dengan melayangnya
nyawa dari badan karena overdosis atau salah menonsumsi obat. Jika kejadiannya
seperti ini, dokter gadungan kami akan angkat tangan. Untuk menutupi
kesalahannya dalam memberikan resep ia akan menyalahkan takdir.
“sudahlah, tidak ada
yang salah dengan obatnya. Jika memang salah obat harusnya banyak orang yang
mati. Buktinya baru kali ini saja terjadi. Takdirnya memang harus seprti ini”.
Kilahnya. Dokter gadungan kami mengeluarkan pembelaan saktinya tak jauh beda
dengan pembelan oknum dokter profesional yang diduga melakukan mal praktek. Aku
curiga dokter-dokter gadungan ini sengaja mengutip pembelaan dokter yang diduga
melakukan mal praktek. Benar-benar dokter gadungan.
Sejak cerita ibuku
itu aku sering menangis sendiri. Tekadku bulat untuk menjadi seorang dokter
saat dewasa nanti. Untuk mengingatkan cita-citaku itu, aku bubuhkan di depan
namaku gelar prestisius dr. Komaruddin di setiap buku tulisku.
0 Response to "Bulan Menangis"
Posting Komentar