Rangkuman Materi Pedagogik Tentang Teori Kontruktivisme Untuk Persiapan AKG
Ayo Uji Kemampuan Pedagogik Bapak/ibu guru dengan mengerjakan tes berikut ini:
Upaya membangun sumber daya manusia ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat masa depan yang dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki tersebut adalah menusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses … (to) learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990). Kepekaan, berarti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun kemudah tersentuhan hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan Sang Pencipta. Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berpikir sendiri di samping proses dan hasil berpikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu. Tanggungjawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi, berarti di samping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri, individu dengan ciri-ciri di atas juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama. Langkah strategis bagi perwujudan tujuan di atas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi. Student active learning
atau pendekatan cara belajar siswa aktif di dalam pengelolaan kegiatan belajar
mengajar yang mengakui sentralitas peranan siswa di dalam proses belajar, adalah
landasan yang kokoh bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang
diharapkan. Pilihan tersebut bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empirik di
samping pilihan masyarakat (Raka Joni, 1990).
Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna
bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk
melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap
aspek strategis pendekatan yang tepat ketika individu belajar. Dengan kata lain,
pendidikan ditantang untuk memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia
masa depan yang memiliki karakteristik di atas. Kajian terhadap teori belajar
konstruktivistik dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju
kepada tujuan tersebut.
1. Konstruksi Pengetahuan
Seperti telah diuraikan pada bab pendahuluan, untuk memperbaiki pendidikan
terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara
mengajarnya. Ke dua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia
mengkonstruksi pengetahuannya tentang obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa
yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan halhal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Demikian
juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri.
Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian ini akan
dibahas teori belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman tentang apa
pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan antara
pengetahuan, realitas, dan kebenaran.
Menurut bapak/ibu, apa yang dimaksud dengan pengetahuan?
Dalam pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari
suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif
seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus
oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya
pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran
seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang
belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer
konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransferan itu
akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman
dan pengetahuan mereka sendiri.
Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui sesuatu
dengan menggunakan indranya. Melalui interaksinya dengan obyek dan
lingkungan, misalnya dengan melihat, mendengar, menjamah, membau, atau
merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu
yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin banyak
seseorang berinteraksi dengan obyek dan lingkungannya, pengetahuan dan
pemahamannya akan obyek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih
rinci.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; 1)
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan 3)
kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya.
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan
adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan
jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi
pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi
pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi
unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan
pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan
hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu
jaringan struktur kognitif dalam dirinya.
2. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan konstruktivistik,
dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
Proses belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika
dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang
berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian
makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi
yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih
dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari faktafakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…..constructing and
restructuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex
network of increasing conceptual consistency…..”. Pemberian makna terhadap
obyek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri
oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang
terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu
pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam
memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan
lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang
dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
dan sebagainya.
Peranan Siswa (Si-belajar). Menurut pandangan konstruktivistik, belajar
merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus
dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir,
menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru
memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang
memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling
menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan
istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada
siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah
memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kamampuan awal
tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh
sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak
sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran
dan pembimbingan.
Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan
membantu agar proses pengkonstruksian belajar oleh siswa berjalan lancar. Guru
tidak menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu
siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat
mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai
dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pedidikan adalah pengendalian yang
meliputi;
1) Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk
mengambil keputusan dan bertindak.
2) Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan
meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3) Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar
siswa mempunyai
peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan
utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan,
lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan
tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan
pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan
terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang
dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan
pemikirannya secara rasional.
Evaluasi belajar. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa
lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan
interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain
yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha
mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar
antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis dan konstruktivistik.
Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis,
sedangkan Piagetian dan tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada
konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
tersetruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan
pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur
dunia nyata tersebut, sehingga belajar merupakan asimilasi obyek-obyek nyata.
Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional adalah menginterpretasikan
kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada para siswanya.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran
seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan
pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana
seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan
keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwaperistiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen
penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia
nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara
individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat
menginterpretasi-kan informasi ke dalam pikirannya, hanya pada konteks
pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan
minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi
fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual,
bagaimana mengevaluasinya?
Evaluasi belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada
tujuan belajar. Sedangkan pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free
evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan
spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang
tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai,
proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi
mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan
pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan prototipe
obyektifis/behavioristik, yang tidak sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar
konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses
pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas
autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang
lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merrill, atau “strategi
kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi
pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan
berbagai perspektif.
3. Konstruksi Pengetahuan Menurut Lev Vygotsky (1896-1934)
Teori belajar kokonstruktivistik merupakan teori belajar yang di pelopori oleh
Lev Vygotsky. Teori belajar ko-kontruktinvistik atau yang sering disebut sebagai
teori belajar sosiokultur merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah
pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona
keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Developmen (ZPD) atau Zona
Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam perkembangannya
membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang
dihadapinya
Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa
intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini
juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui
interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang
terjadi dalam diri sendiri).
Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan
terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Yuliani (2005: 44) Secara
spesifik menyimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut Vygotsky adalah :
1. Membantu memecahkan masalah
Alat berfikir mampu membuat seseorang untuk memecahkan masalahnya.
Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu menentukan keputusan yang
diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya.
2. Memudahkan dalam melakukan tindakan.
Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah yang mampu membuat seseorang
mampu memilih tindakan atau perbuatan yang seefektif dan seefisien mungkin
untuk mencapai tujuan.
3. Memperluas kemampuan
Melalui alat berfikir
Setiap individu mampu memperluas wawasan berfikir
dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang
ada di sekitarnya.
4. Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya.
Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan semakin intens
menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai
dengan kapasitasnya.
Inti dari teori belajar kokonstruktivistik ini adalah penggunaan alat berfikir
seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya.
Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan
yang dimiliki oleh setiap individu.
Guruvalah berpendapat bahwa teori-teori yang menyatakan bahwa “siswa itu
sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks,
mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki
aturan itu apabila tidak sesuai lagi”. Teori belajar kokonstruktivistik ini
menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang
telah dipahami diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya
memakai informasi-informasi baru. Teori belajar kokonstruktivistik meliputi tiga
konsep utama, yaitu :
1. Hukum Genetik tentang Perkembangan
Perkembangan menurut Vygotsky tidak bisa hanya dilihat dari fakta-fakta
atau keterampilan-keterampilan, namun lebih dari itu, perkembangan seseorang
melewati dua tataran. Tataran sosial (interpsikologis dan intermental) dan tataran
psikologis (intrapsikologis). Di mana tataran sosial dilihat dari tempat terbentuknya lingkungan sosial seseorang dan tataran psikologis yaitu dari dalam diri orang yang
bersangkutan.
Teori kokonstruktivistik menenpatkan intermental atau lingkungan sosial
sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta
perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang tinggi dari seseorang
diyakini muncul dari kehidupan sosialnya. Sementara itu, intramental dalam hal ini
dipandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui penguasaan dan
internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini terjadi karena anak baru
akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah terjadi proses
internalisasi. Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang
menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang.
Seperti yang dikutip oleh Yuliani (2005: 44) Vygotsky meyakini bahwa
kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir. Secara spesifik,
namun demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi secara keseluruhan
akan menentukan kematangan selanjutnya.
2. Zona Perkembangan Proksimal
Zona Perkembangan Proksimal/Zona Proximal Development (ZPD)
merupakan konsep utama yang paling mendasar dari teori belajar
kokonstruktivistik Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky
berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu domain mempunyai ‘level
perkembangan aktual’ yang dapat dinilai dengan menguji secara individual dan
potensi terdekat bagi perkembangan domain dalam tersebut. Vygotsky
mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level Zona Perkembangan
Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal sebagai jarak
antara level perkembangan aktual seperti yang ditentukan untuk memecahkan
masalah secara individu dan level perkembangan potensial seperti yang ditentukan
lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi
dengan teman sebaya yang lebih mampu.
Zona Perkembangan Proksimal terdekat adalah ide bahwa siswa belajar
konsep paling baik apabila konsep itu berada pada zona perkembangan terdekat
mereka (Guruvalah). Sedangkan Marysia (2003) dalam makalahnya menyatakan
bahwa “ZPD merupakan suatu wilayah aktifitas-aktifitas di mana individu dapat
mengemudikan dengan kawan-kawan sebaya, orang-orang dewasa, ataupun orang
yang lebih ahli yang memiliki kemampuan lebih”. Pandangan Vygotsky tentang
interaksi antara kawan sebaya dan pencontohan adalah cara-cara penting untuk
memfasilitasi perkembangan kognitif individu dan kemahiran pengetahuan.
Dalam makalah lain, Julia berpendapat bahwa “ZPD merupakan level
perkembangan yang dicapai ketika anak-anak ikut serta dalam tingkah laku sosial”.
Hal ini dapat diartikan bahwa perkembangan penuh ZPD tergantung pada interaksi
sosial yang penuh, di mana keahlian dapat diperoleh dengan bimbingan oraang
dewasa atau kolaborasi antar kawan sebaya ataupun orang yang lebih faham
melampaui apa yang difahaminya.
Vygotsky mengemukakan ada empat tahapan ZPD
yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran, yaitu :
Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain.
Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos kakinya ketika
akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang tua dan pengasuhnya
begitu besar, tetapi ia suka memperhatikan cara kerja yang ditunjukkan orang
dewasa
Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri.
Anak mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan kaos
kakinya sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri dan kanan.
Memakai bajupun masih membutuhkan waktu yang lama karena keliru
memasangkan kancing.
Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi.
Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang dewasa. Setiap
pagi sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa saja yang harus
dilakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.
Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap
untuk berfikir abstrak.
Terwujudnya perilaku yang otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan
sesuatu tanpa contoh tetapi didasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat
urutan suatu kegiatan. Bahkan ia dapat menceritakan kembali apa yang
dilakukannya saat ia hendak berangkat ke sekolah.
Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang akan dapat
melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan bantuan yang
diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang lebih berkompeten
terhadap hal tersebut.
3. Mediasi
Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan
seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. Ada dua jenis mediasi yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu, (1) tema mediasi semiotik di mana
tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk memahami
sesuatu diluar pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di sekitar kita,
kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu mengkontruksi
pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan;
(2) scoffalding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan
seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang
memang sudah ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih faham tentang
tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut akan membantu menjelaskan kepada
orang yang belum faham sehingga menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan.
Kunci utama untuk memahami proses sosial psikologis adalah tanda-tanda
atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau
lambang-lambang tersebut sebenarnya merupakan produk dari lingkungan
sosiokultural di mana seseorang berada.
Berdasarkan teori Vygotsky Yuliani (2005: 46) menyimpulkan beberapa hal
yang perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu :
1. Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang
luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau
potensinya melalui belajar dan berkembang.
2. Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya
dari pada perkembangan
aktualnya.
3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk
mengembangkan kemampuan
intermentalnya daripada kemampuan
intramentalnya.
4. Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah
dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk
melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah
5. Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih
merupakan ko-
konstruksi
Dalam teori belajar kokonstruktivistik ini, pengetahuan yang dimiliki
seseorang berasal dari sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk
mengkonstruksi pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang tersebut.
Pengetahuan dan kemampuan tidak datang dengan sendirinya, namun harus
diusahakan dan dipengaruhi oleh orang lain. Prinsip-prinsip utama teori belajar
kokonstruktivistik yang banyak digunakan dalam pendidikan menurut Guruvalah :
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif
2. Tekanan proses belajar mengajar terletak pada Siswa
3. Mengajar adalah membantu siswa belajar
4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar
5. Kurikulum menekankan pada partisipasi siswa
6. Guru adalah fasilitator
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar kokonstruktivistik, proses
belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi
dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan
makna sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks
sosial. Dalam hal ini, tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat
dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari
kenyataan digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda.
Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan itu
dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya di
mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi
sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.
Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau
behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut
Terimakasih,sangat bermanfaat untuk persiapan AKG🙏🙏🙏😊
BalasHapussama-sama. Semoga sukses AKG nya
Hapus