Rangkuman Materi Pedagogik Tentang Teori Behavioristik untuk Menghadapi AKG
Ayo Uji Kemampuan Pedagogik Bapak/ibu guru dengan mengerjakan tes berikut ini:
Sebelum bapak/ibu mempelajari lebih lanjut materi tentang teori behavioristik, ada baiknya bapak/ibu berfikir ulang apa yang dimaksud dengan ”BELAJAR” istilah ini bukanlah istilah baru, hampir setiap hari bapak/ibu menggunakan istilah belajar. Namun apa itu belajar?
1. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, siswa belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat dan gurunya sudah mengajarkan dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa
stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons.
STIMULUS adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa, sedangkan RESPON adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus dan respon
dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respons. Oleh sebab itu, apa saja
yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons),
semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat
terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behaviotistik adalah faktor
penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat
timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative
reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika siswa diberi
tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat
belajarnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif
(positive reinforcement) dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan
ini justru meningkatkan aktivitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan
penguatan negatif (negative reinforcement) dalam belajar. Jadi penguatan
merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau
dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respons.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson,
Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skiner. Pada dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian belajar di atas, namun ada beberapa
perbedaan pendapat di antara mereka.
Teori Belajar Menurut Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga
dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari definisi belajar tersebut
maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu
dapat berujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang
tidak dapat diamati.
Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun ia
tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku-tingkah laku yang
tidak dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan
pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori
Thorndike ini disebut juga sebagai aliran Koneksionisme (Connectionism).
Teori Belajar Menurut Watson (1878-1958)
Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah
Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang
dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia
mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses
belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu
diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam
benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah
seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan dapat
diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka akan dapat
diramalkan perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang
melakukan tindak belajar. Pemikiran Watson (Collin, dkk: 2012) dapat
digambarkan sebagai berikut:
Teori Belajar Menurut Clark Leaonard Hull (1884-1952)
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon
untuk menjelaskan pengrtian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh
teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya
teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga
kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori Hull mengatakan bahwa
kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan
menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam
belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon
yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam
kenyataannya, teori-teori demikian tidak banyak digunakan dalam kehidupan praktis, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya. Namun teori ini masih
sering dipergunakan dalam berbagai eksperimen di laboratorium.
Teori Belajar Menurut Edwin Ray Guthrie (1886-1959)
Demikian juga dengan Edwin Guthrie, ia juga menggunakan variabel
hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun
ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau
pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark dan Hull.
Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya
bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar siswa perlu sesering
mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat
lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat
dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan
dengan respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada
saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun
setelah Skinner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan
(reinforcemant) dalam teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi dipentingkan
dalam belajar.
Teori Belajar Menurut Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990)
Skinner merupakan tokoh behavioristik yang paling banyak dipebincangkan,
konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia
mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan
konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif.
Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya akan menimbulkan perubahan tingkah laku.
Pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan
saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan
mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon
yang dimunculkan inipun akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau
menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami
tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan
antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat
dari respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang digunakan perlu
penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh para guru
dan pendidik. Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skinerlah yang paling
besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram,
modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep
hubungan stimulus–respons serta mementingkan faktor-faktor penguat
(reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan
teori belajar yang dikemukakan oleh Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu
menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variable atau hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi
sekedar hubungan stimulus dan respon. Contohnya, seorang siswa akan dapat
belajar dengan baik setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi setelah diberi stimulus
lagi yang sama bahkan lebih baik, ternyata siswa tersebut tidak mau belajar lagi. Di
sinilah persoalannya, ternyata teori behavioristik tidak mampu menjelaskan alasanalasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini. Namun teori
behavioristik dapat mengganti stimulus satu dengan stimulus lainnya dan
seterusnya sampai respon yang diinginkan muncul. Namun demikian, persoalannya adalah bahwa teori behavioristik tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan
terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya.
Sebagai contoh, motivasi sangat berpengaruh dalam proses belajar. Pandangan behavioristik menjelaskan bahwa banyak siswa termotivasi pada
kegiatan-kegiatan di luar kelas (bermain video-game, berlatih atletik), tetapi tidak
termotivasi mengerjakan tugas-tugas sekolah. Siswa tersebut mendapatkan
pengalaman penguatan yang kuat pada kegiatan-kegiatan di luar pelajaran, tetapi
tidak mendapatkan penguatan dalam kegiatan belajar di kelas.
Pandangan behavioristik tidak sempurna, kurang dapat menjelaskan adanya
variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan
yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang
mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata
perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat
berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya
stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya
pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan siswa untuk tidak bebas berkreasi
dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh dalam hidup ini yang
mempengaruhi proses belajar. Jadi pengertian belajar tidak sesederhana yang
dilukiskan oleh teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Namun apa yang
mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung
membatasi siswa untuk bebas berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar.
Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie,
yaitu
1) Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat
sementara.
2) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian
dari jiwa si terhukum) bila
hukuman berlangsung lama.
3) Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan
buruk) agar ia terbebas
dari hukuman.
Dengan kata lain, hukuman dapat
mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih
buruk dari pada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif.
Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila
hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda
dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus
dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa
perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja
melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang
tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan
malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguat negatif. Lawan dari penguat
negatif adalah penguat positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk
memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat positif itu ditambah,
sedangkan penguat negatif adalah dikurangi agar memperkuat respons.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah
pengembangan teori dan praktek pendidikkan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulusresponnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons
atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement, dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus-respon, individu atau siswa pasif,
perilaku sebagai hasil belajar yang tampak, pembentukan perilaku (shaping)
dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua
merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini
hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak
dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti
Kelompok bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah-Dasar, Sekolah Menengah,
bahkan sampai di Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill
(pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan
mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa.
Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan
yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang
harus dipahami oleh murid.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang
sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga
makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di
dunia nyata telah tersetruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar
harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan
yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada
aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau siswa adalah
obyek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus
dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran
menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi
buku teks/buku wajib tersebut. Thorndike (Schunk, 2012) kemudian merumuskan
peran yang harus dilakukan guru dalam proses pembelajaran, yaitu:
1. Membentuk kebiasaan siswa. Jangan berharap kebiasaan itu akan terbentuk
dengan sendirinya
2. Berhati hati jangan smpai membentuk kebiasaan yang nantinya harus diubah.
Karena mengubah
kebiasaan yang telah terbentuk adalah hal yang sangat sulit.
3. Jangan membentuk dua atau lebih kebiasaan, jika satu kebiasaan saja sudah
cukup
4. Bentuklah kebiasaan dengan cara yang sesuai dengan bagaimana kebiasaan itu
akan digunakan.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu
jawaban benar. Maksudnya, bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan
keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas
belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori
ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
Salah satu contoh pembelajaran behavioristik adalah pembelajaran
terprogram (PI/Programmed Instruction), dimana pembelajaran terprogram ini merupakan pengembangan dari prinsip-prinsip pembelajaran Operant conditioning
yang di bawa oleh Skinner. Dalam Schunk (2012) PI melibatkan beberapa prinsip
pembelajaran. Dalam pembelajaran terprogram, materi dibagi menjadi frame-frame
secara berurutan yang setiap frame memberikan informasi dalam potongan kecil
dan dilengkapi dengan test yang akan direspon oleh siswa.
Pada jaman modern ini, aplikasi teori behavioristik berkembang pada
pembelajaran dengan powerpoint dan multimedia. Dalam pembelajaran dengan
powerpoint, pembelajaran cenderung terjadi satu arah. Materi disampaikan dalam
bentuk powerpoint yang telah disusun secara rinci. Sementara itu pada
pembelajaran dengan multimedia, siswa diharapkan memiliki pemahaman yang
sama dengan pengembang, materi disusun dengan perencanaan yang rinci dan ketat
dengan urutan yang jelas, latihan yang diberikan pun cenderung memiliki satu
jawaban benar. Feedback pada pembelajaran dengan multimedia cenderung
diberikan sebagai penguatan dalam setiap soal, hal ini serupa dengan program
pembelajaran yang pernah dikembangkan Skinner (Collin, 2012), dimana Skinner
mengembangkan model pembelajaran yang disebut “teaching machine” yang
memberikan feedback kepada siswa bila memberikan jawaban benar dalam setiap
tahapan dari pertanyaan test, bukan sekedar feedback pada akhir test.
0 Response to "Rangkuman Materi Pedagogik Tentang Teori Behavioristik untuk Menghadapi AKG"
Posting Komentar